Sabtu, 09 Mei 2015

Wanitaku, Pahlawanku


By Bunga Zahrana
Pada ragaku ini tersimpan sebuah harapan besar. Ketika sang surya mulai menampakkan cahayanya, di saat itu pula aku harus bangun dari mimpi indahku untuk kembali beraktivitas ke dalam dunia nyata. Namaku Adinda, aku adalah seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Semarang. Aku mungkin masih awam dalam dunia perkuliahan karena aku adalah mahasiswa baru yang masuk satu bulan lalu. Aku bukanlah seorang anak yang berasal dari keluarga kaya, bahkan dapat dibilang jauh dari kecukupan. Ibuku hanyalah seorang buruh cuci pakaian yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari, meski terkadang aku dan adikku harus berpuasa jika ibu sedang sepi pelanggan. Namun aku tak pernah sepi dari rasa syukurku kepadaNya. Ayahku sudah meninggal ketika aku berusia 10 tahun dan adikku baru berusia 5 tahun. Saat itulah aku merasa terpukul karena orang yang paling aku sayangi dan aku cintai di dunia ini telah pergi untuk selama-lamanya.
***
Pagi ini aku harus benar-benar membuka kedua mataku karena perkuliahan pukul 07.00 akan segera menantiku. Meski sebenarnya mata ini masih berat menatap beban hidupku dan keluargaku.
“Ternyata sudah jam 06.00, aku harus bergegas siap-siap untuk kuliah hari ini”.
Meski sebenarnya ku rasakan lelah yang amat luar biasa karena segudang kegiatan yang mengharuskanku selalu pulang sore, namun aku mencoba untuk tak menghiraukan hal  itu. Karena yang ingin aku lakukan saat ini adalah bagaimana caranya agar aku bisa sukses kelak demi membahagiakan ibu yang selama ini telah membesarkanku sampai aku mampu menempuh pendidikan ke perguruan tinggi. Sebenarnya aku menolak keinginan ibu yang menginginkanku agar meneruskan sekolah ke bangku kuliah ini, namun akhirnya aku menuruti juga keinginan ibu hingga semangatku pun harus ku bangun agar aku tidak mengecewakan ibu nantinya. Dan Alhamdulillah berkat usahaku siang malam belajar dan berdo’a akhirnya aku mendapatkan beasiswa menempuh Pendidikan di sebuah Perguruan Tinggi Negeri .
          Bulan demi bulan ku lewati di negeri perantauan ini sendiri, tanpa dekapan hangat dari ibu yang senantiasa menenangkanku, serta canda tawa Amanda adikku yang acap kali mengundang tawa karena tingkah lucunya. Terkadang aku merasakan kerinduan yang amat dalam terhadap mereka. Apalagi ketika aku menemui kesulitan di sini, benar-benar tidak ada yang mampu membuatku tenang. Dan satu hal yang sering menjadikan renunganku, aku lebih bahagia hidup bersama keluargaku meski jauh dari kecukupan, dari pada di sini jauh dari mereka. Namun itu tak boleh menjadi penghalang dalam tirakatku meraih cita-cita. Semangatku akan memancar kembali ketika aku ingat hal tersebut, aku harus membahagiakan ibu, aku harus bisa membantu ibu terutama dalam merawat Amanda, adikku.
          “Ibu, Dinda janji akan jadi orang yang selalu berbakti. Dinda janji suatu naat nanti Dinda akan sukses dan bisa membahagiakan ibu dan Manda.” Kataku ketika aku pulang ke rumah
          “Dinda anakku, kebahagiaan ibu tidak di ukur dari kesuksesanmu kelak. Ibu sangat berharap supaya kamu bisa menjadi orang sukses kelak nanti. Namun ibu akan lebih bahagia jika kamu bisa selalu berada di samping ibu apalagi ketika ibu sudah tua dan rapuh.” Kata ibu yang diiringi oleh linangan air mata, meski ibu berusaha untuk menyembunyikannya, tapi semua itu tidak dapat disembunyikan dariku.
          “Dinda sayang ibu”. Sambil tersedu aku menangis di pelukan ibu.
          “Andai bapakmu juga berada di sini pada saat ini juga, pasti dia juga akan merasa bangga bisa memiliki anak sepertimu”. Kata ibu.
Mendengar perkataan ibu yang seperti itu aku jadi merasa sedih karena belum sempat aku membuat bapak bahagia dan bangga, tetapi beliau sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
***
Kini aku sudah bisa menemukan seseorang yang benar-benar bisa menjadi teman berbagi. Linta sahabatku, dia teman satu rombelku. Orangnya baik, dan selalu ada di saat suka maupun duka. Meskipun dia adalah anak orang kaya, namun dia tak pernah memilih dalam berteman. Bahkan dia sering sekali membantuku, walau terkadang aku harus menolak karena tak ingin merepotkannya. Persahabatan kami terasa begitu indah dan berwarna, dan tanpa terasa sudah berjalan tiga tahun hingga semester tujuh ini. Aku berharap persahabatan ini akan selalu awet hingga akhir masa ini.
Tanpa aku sadari ternyata ada orang yang syirik terhadap persahabatan kami, dia adalah Jenita. Meskipun dia selalu berusaha memecahkan persahabatan ini, namun aku rasa dia tidak pernah berhasil. Bahkan persahabatan ini semakin terasa hangat.
“segala bentuk rekayasa yang dibuat oleh Jenita takkan mampu memecahkan persahabatan kita Dinda”. Dengan senyum khasnya Linta berkata seperti itu kepadaku
“Linta, akupun berharap seperti itu, ku ingin persahabatan ini takkan berakhir meskipun dunia ini berakhir” kataku.
***
Dunia ini kejam, dunia ini egois. Kini aku mengerti, kenapa bapak    dulu selalu memberi pesan terhadapku. Dunia itu penuh dengan ego, jangan pernah kita menggantungkan diri kepada orang lain yang belum tentu memberi harapan pada kita. Karena bisa jadi hanya harapan-harapan kosonglah yang akan mereka berikan. Dunia itu munafik, maka jangan mudah percaya dengan omongan-omongan yang tak pernah ada pertanggungjawabannya. Aku harus kuat, bahkan meskipun bapak sudah tak ada aku tak boleh jatuh lemah dan masuk dalam lubang penyesalan tiada henti.
“ Dinda, kamu harus bangkit. Jika suatu saat nanti Ibu atau Bapak sudah tidak ada. Bapak harap kamu tetap tumbuh menjadi anak yang kuat, anak yang hebat.” Kata bapak.
Ah,,, kata-kata itu tak pernah luntur dari memori otakku. Setiap kali kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku, air mataku takkan pernah mampu untuk aku bendung.
***
          Kini aku tersadar mengapa Jenita sangat membenciku. Kebencian Jenita terhadapku mungkin sudah tak dapat diukur. Aku hampir di DO karena ulahnya. Beruntung ada Grey yang membantuku menyelesaikan masalah tersebut. Jelas aku tak ingin jika beasiswaku dicabut. Aku pasti akan mengecewakan ibu dan Manda.
Aku baru tahu kenapa Jenita sangat membenciku. Grey. Ya,,, Jenita telah lama memendam rasa terhadap Grey, teman dari SD hingga kuliah. Jenita sengaja mengambil jurusan yang sama dengan Grey karena hanya lewat itu saja dia bisa selalu bersama dengan Grey. Namun sikap Jenita yang terlalu posesif lama-lama membuat Grey muak dan risih jika Jenita mulai mengatur dan melarang setiap kegiatan yang dilakukan oleh Grey.
“ rasanya ingin sekali aku menghindar dari dia Din, tapi dia selalu saja ada dimanapun aku berada” katanya lesu.
Ku tatap lekat-lekat wajahnya, terlihat sekali kalau dirinya merasa tidak nyaman dan tertekan dengan sikap Jenita selama ini.
“ kenapa kamu diam saja Grey?” tanyaku halus.
“ dia selalu mengancamku Din, dia pasti bilang mau bunuh diri jika aku menghindarinya” balasnya
“ Din, kamu tahu kenapa selama ini aku kekeh dengan keputusanku untuk tidak menerima Jen? Itu karena kamu Din. Sejak awal masuk aku sudah tertarik denganmu. Entah kenapa kehadiranmu benar-benar memberi aroma baru dalam hidupku yang sudah lama tak berwarna. Kau tahu, semenjak kepergian kedua orang tuaku, aku benar-benar merasa sendiri. Tetapi setelah ada kamu, aku benar-benar merasakan kembali apa itu hidup.” Kata Grey panjang lebar.
“ Kalian ngapain berdua di sini?” tanya Jenita geram.
Terlihat sekali kemarahan bersarang di wajah gadis cantik tersebut.
          “ Kami nggak ngapa-ngapai Jen.” Jelasku.
          “ Bohong...” sahut Jenita.
Aku mengalah, aku mundur. Bukan karena aku menyerah. Aku tak mau pendidikan yang sudah beberapa tahun ini hancur karena keegoisan hatiku. Maafkan aku Grey, akupun sangat mencintaimu. Atapi aku lebih memilih keluargaku. Aku tak mau mengecewakan ibu dan manda. Aku tahu tampak sekali kekecewaan di raut mukamu. Tapi inilah pilihanku, biarkan aku berjuang demi keluargaku.
          “ Kalau kamu tak percaya, akan aku jauhi Grey Jen. Biar kamu puas sekalian” kataku sambil berlalu.
Jenita hanya terdiam merasakan kepuasan karena mengalahku.
Grey. Jikapun nanti kita memang ditakdirkan untuk bersama, yakinlah kita pasti akan bersatu. Bukan sekarang, tapi saat waktu yang tepat. Aku pun sudah lama memendam perasaan ini padamu, tapi di sini aku ada suatu hal yang harus aku prioritaskan. Bukannya kamu tak penting bagiku, tapi memang saat ini belum waktunya kita bersama.
***
Angin sore ini terlalu sepoi ku rasakan. Aku hanya bisa tersenyum menikmati setiap sentuhan yang sedikit menggelitik tubuhku. Kini aku bisa tersenyum bahagia melihat apa yang bisa aku berikan kepada ibu dan Manda, adikku.
Tahun lalu aku berhasil menyelesaikan studyku dengan hasil comlaud. Namun jangan pernah bayangkan semua ini aku lalui dengan mudah. Aku harus jatuh bangun untuk dapat meraihnya. Namun semua terbayar dengan banyaknya perusahaan yang melirikku. Setelah lulus aku langsung mendapatkan pekerjaan yang dapat dibilang sangat pantas aku dapatkan. Ibu dan Manda langsung aku boyong ke rumah baruku. Semua ini karena ibu. Selama ini beliau sudah bersusah ayah banting tulang demi aku dan Manda. Beliau tak pernah mengeluh dengan apa yang dirasakannya. Semua ia tanggapi dengan senyum tanpa sedikitpun ada rasa lelah di wajahnya. Hidup bertiga tanpa kehadiran ayah benar-benar membuat kami harus berjuang menjalani hidup ini. Terutama ibu yang harus berperan sebagai ibu sekaligus menjadi kepala keluarga. Dan itu semua dijalani ibu tanpa keluhan.
Ibu, sekarang semua ini milik ibu dan Manda. Mungkin tak dapat menggantikan apa yang sudah ibu lakukan selama ini. Tetapi setidaknya dengan ini semua aku takkan pernah membuat ibu kecewa. Aku rela meski harus mengorbankan perasaanku. Kau akan tetap menjadi pahlawanku. Grey. Aku yakin jika waktu memang ditakdirkan menjadi milik kita berdua, suatu saat kita pasti akan ditemukan pula oleh waktu.



Senja di Kota Atlas


Oleh Bunga Zahrana

Kala itu aku masih bermimpi, bermimpi dapat hidup bahagia bersamamu. Aku tak pernah tahu sejak kapan cinta ini mulai tumbuh merayu-rayu untuk selalu merindumu. Siang malam bayangmu tak pernah mau pergi dari ingatanku. Kadang aku berpikir, sudah sedewasa ini kenapa masih saja aku seperti anak SMP yang baru merasakan jatuh cinta. Atau memang sepert ini orang yang sedang jatuh cinta? Tak mempedulikan usia.
Reihan,,, kenapa namamu tak mau pergi dari ingatanku? Kau tau betapa tersiksanya aku karena namamu tak mau pergi dari ruang kecil ini. Pertemuan itu telah menyisakan sebuah bayangan yang seakan-akan betah menghantuiku. Usia kami tak beda jauh, mungkin hanya beberapa bulan. Akan tetapi dia lebih dahulu belajar di bangku sekolah setahun di atasku. Kami memang belum pernah bertemu lagi kecuali beberapa tahun lalu saat kami sama-sama duduk di bangku SD. Tapi pagi itu sepertinya Tuhan punya sebuah rencana sehingga mempertemukan kita dalam sebuah kesempatan. Tuhan, aku tak dapat memungkiri jika senyumnya pagi itu sangat membekas di ingatanku. Mungkinkah aku mencintainya? Atau ini hanya sebuah nafsu belaka yang sedang menguasaiku?.
Di saat aku masih bertanya-tanya tentang perasaan apa yang sedang menjalariku ini, aku harus mengetahui bahwa dia sudah memiliki seorang kekasih yang katanya sangat dia cintai. Aku tak tahu harus merasa sedih atau bahagia, karena nyatanya air mataku lah yang menjawabnya.
“ Sudahlah dik, mungkin dia tak baik untukmu. Allah lebih tahu mana yang pantas untukmu”. Lagi-lagi kata-kata yunda yang selalu membuatku sadar, bahwa dia bukan apa-apa buatku.
Mungkin benar apa yang dikatakan yunda, dia bahkan bukan siapa-siapaku. Kenapa aku harus bersedih mendengar berita itu, tapi aku juga tak mampu memungkiri kalau aku ingin menangis. Tuhan maafkan daku, tapi cinta ini takkan melebihi cintaku terhadapMu.
***
Aku adalah seorang mahasiswi jurusan bahasa indonesia di perguruan tinggi terkemuka di Semarang. Reihan,,, kenapa aku tak mampu melupakanmu?. Sepulang kuliyah aku sengaja menyempatkan diri duduk-duduk sejenak di tepi pantai. Senja kala ini terasa sejuk ku rasakan. Semburat merah orange nya mengundang takjub bagi siapa saja yang menikmatinya. Semilir angin tak kalah seru mengajakku semakin hanyut dalam suasana sore ini. Aku semakin terbawa dalam buaian lembut perpaudan antara semilir angin dan keindahan pantai Marina ketika sore hari. Meskipun pantai ini tak seindah pantai-pantai di pantai selatan, namun aku tetap suka berkunjung ke sini. Terutama ketika sedang merasa panat setelah pulang kuliyah. Jarak antara kampus dengan pantai sangatlah tidak dekat, bahkan dapat dikatakan jauh. Namun bukan aku namanya kalau tidak nekat. Aku selalu bisa melakukan hal-hal yang menurut orang lain aneh. Tetapi bagiku, selama aku bahagia kenapa tidak???.
***
Aku semakin larut dalam senja, sehingga kakiku saja tak ingin untuk beranjak dari tempat ini. Pikiranku semakin tenggelam, membuatku tak beranjak-beranjak dari bibir pantai Marina. Hingga sebuah getar hp tiba-tiba mengusik keasyikanku.
Din, segera ke RS. Karyadi ya,,, yunda masuk UGD.
Sebuah pesan singkat dari Mbak Lili membuatku sedikit panik. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju motor, dan melaju dengan kecepatan ekstra menuju rumh sakit.
            Sesampai di sana telah ku dapati yunda yang terbaring di UGD antri untuk segera ditangani. Betapa menyedihkannya keadaan yunda saat itu. Ku hingga tak berani berkata-kata. Andai sakit itu dapat dibagi, aku rela ikut merasakannya. Agar yunda tak merasakan sakit yang separah ini. Dia terus saja memegangi perutnya, meski aku tahu sebenarnya yunda sudah setengah sadar. Aku hanya bisa menungguinya dari samping sambil membisikkan kata sabar dan meminta yunda untuk selalu istighfar.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya yunda ditangani juga oleh pihak medis. Selesai ditangani yunda dipindah ke sebuah ruangan. Di ruangan terdapat 4 tempat tidur dimana hanya baru satu tempat tidur yang ditiduri oleh satu pasien. Aku memutuskan untuk menunggui yunda malam ini bersama Mbak Lili. Sedangkan yang lain kami minta untuk pulang, dan ada yang mengambilkan baju ganti untuk kami mengingat kondisi sudah malam.
Tak lama datang beberapa lelaki menjenguk yunda. Sepertinya mereka adalah teman-teman satu jurusan Yunda.
“ bagaimana keadaan Sinta?” tanya salah seorang dari mereka, yang baru aku tahu namanya adalah Edwin.
“ sudah ditangani oleh dokter, hasil lab baru keluar dua hari lagi. Dan sekarang alhamdulillah yunda sudah bisa istirahat.” Jawabku.
Mereka juga memutuskan untuk menunggui Yunda. Alhamdulillah, setidaknya di sini kami tidak terlalu kesepian karena yang menunggui hanya kami berdua. Mas Edwin memberikan kami makanan.
“ nih makanan, lumayan bisa ngganjel perut kalian. Sepertinya kalian sedang kelaparan.” Kata Edwin sambil tersenyum.
“ makasih” kataku.
Berbicara tentang senyum. Kau tahu??? Ada yang beda dengan senyum Edwin. Aku tak tahu itu apa. Awalnya aku hanya mengira kalau senyumnya manis, bahkan sangat manis. Namun lama-lama aku baru sadar, ada sesuatu yang berbeda. Senyum yang belum pernah aku dapatkan dari lelaki manapun. Boleh dibilang Edwin itu termasuk lelaki dengan paras yang lumayan menarik. Wajahnya ganteng, senyumnya manis dengan berhias lesung pipit di kedua pipinya.
***
Merasa penat dan gerah, aku memutuskan untuk keluar sebentar dari kamar.
“ Mbak, Dinda keluar dulu ya. Aku sedikit sesak di sini. Ya jujur saja sebenarnya aku kurang suka dengan suasana rumah sakit.hehehe” kataku nyengir.
“ iya Din, biar mbak yang jaga yunda. Lagian tuh banyak temen-temen yunda sama mbak kok yang iku jaga” kata Mbak Lili.
Mbak Lili adalah teman sekelas yunda, sekaligus teman kos kami. Hubungan kami sangat dekat, bahkan sudah seperti saudara sendiri.
            Melihatku keluar Edwin langsung bertanya, dari beberapa teman Mbak Lili tersebut memang hanya Edwin yang paling perhatian.
            “ Kamu mau kemana Din?” tanya Edwin.
            “ hehe keluar sebentar mas, nyari udara.” Jawabku.
            “ berani sendiri?” tanyanya lagi.
            “ Loh, emang kenapa mas?” tanyaku heran, aku sebenarnya tahu apa yang dimaksud Edwin, tetapi berpura-pura aja. Hehehe
            “ Sini aku temenin, sekalian nanti nyari minum buat yang ada di sini.” Kata Edwin.
Aku hanya mengangkat bahu dan tersenyum, menandakan mengiyakan permintaan Edwin.
Empat hari dirawat di rumah sakit, akhirnya yunda sudah diperbolehkan untuk pulang. Senyum itu aku temukan kembali, senyum yang beberapa hari lalu sempat hilang direnggut rasa sakit yang diderita yunda. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga. Dia sudah menjadi bagian dari hidupku, seperti itulah arti penting dia dalam hidupku.
***
Senja masih sama aku rasakan. Namun kali ini berbeda, Reihan mengajakku bertemu di Pantai. Sore ini, aku menikmati senja tak hanya sendiri. Saat ini, aku menikmati senja bersama orang yang selama ini sangat aku inginkan. Inginkan??? Mungkinkah sekarang keinginan itu masih ada?. Kenapa dengan hatiku? Seperti ada gejolak lain. Semburat merah orange masih setia mewarnai senja di atas sana, sepertinya ia tak kenal lelah dan bosan. Tetapi cintaku untuk Reihan, mungkinkah ia sudah lelah? Sehingga derunya sudah tak sekencang dulu.
“ Aku putus Din.” Ucap Reihan membuka pembicaraan sore ini.
Reihan putus? Haruskah aku bahagia? Terlihat sekali kesedihan tergurat di wajahnya. Sedalam itukah cinta Reihan kepada sang pujaan hatinya tersebut. Ah,,, beruntung sekali wanita itu. Tetapi aku sama sekali tak merasakan bahagia. Aku justru merasa kasihan dengan keadaan Reihan saat ini.
            Tunggu dulu, terus kenapa Reihan mengajakku bertemu di sini?.
            “ Aku ikut sedih mas,,,” kataku prihatin.
Reihan hanya mengangguk pelan, sambil sesekali menatapku.
            “ lalu kenapa mas mengajakku bertemu di sini dan menceritakan hal ini kepadaku mas?” tanyaku.
Diam,,, sejenak dia terdiam. Sepertinya dia sedang berpikir.
            “ Kau adalah orang yang selama ini peduli terhadapku Din. Aku hanya ingin berbagi, ya intinya curhatlah pada kamu. Kamu nggak keberatankan?” jawabnya.
            “ Tentu tidak mas, aku malah sangat bahagia sudah mas percaya untuk berbagi kisah mas tersebut.” Kataku.
Hah,,, jujur saja tadi aku sangat berharap. Berharap apa? Tentu kalian pahamlah. Berharap Reihan bisa berpaling padaku. Hmmm jahat banget ya aku?.
Cinta terkadang memang bisa membuat pelakunya tega melakukan apapun, termasuk untuk hal menyakiti atau bahkan curang. Tetapi aku tidak, selama ini aku sangat bersabar menunggu balas dari Reihan. Mungkin ini memang kesempatan emas untukku. Tapi aku tak tega, semoga dengan dia bercerita terhadapku bebannya bisa berkurang.
“ Mas,,, percayalah Tuhan punya rencana yang indah untuk mas. Dia pasti sudah mempersiapkan seseorang yang jauh lebih baik untuk mas.” Aku kembali membuka pembicaraan.
“ Kamu benar Din.” Jawabnya pelan.
Sekali lagi pandangannya tertuju ke depan. Kosong. Reihan,,, apa yang membuatmu secinta ini terhadapnya? Apakah aku bisa menjadi wanita tersebut? Kenapa dulu kau lebih dulu bertemu dengannya?. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa aku lontarkan di dalam hati. Berharap sesuatu yang tak mungkin terjadi. Ah,,, mungkin aku terlalu berharap.
***
Sore ini aku diajak yunda ke kampus bertemu dengan teman-teman sekelasnya. Empat hari dirawat di rumah sakit membuat dia ketinggalan banyak materi, sehingga dia ingin meminjam catatan dan menanyakan tugas apa saja yang sudah diberikan dosen. Otomatis di sana juga ada Edwin.
Bertemu dengannya kembali. Ku pikir keganjilan dulu hanya perasaan aneh sesaat. Tetapi ternyata salah. Ada desiran yang berbeda yang mengaliri tubuhku saat ini. Aku mulai gugup saat langkah kakinya semakin mendekat ke arah yunda dan aku. Dari kejauhan bau aroma tubuh Edwin sudah menusuk-nusuk ke hidungku. Aroma wangi khas Edwin, duh Tuhan... Aroma parfumnya saja aku sampai hafal. 
“ Udah sehat betul belum Sin” tanya Edwin
“ Alhamdulillah Win” jawab yunda
“ Eh,,, Dinda juga ikut. Apa kabar Din?”
Aku terkekeh, tiba-tiba merasa gugup. Jantungku semakin cepat berdetak. Rasanya pengen sekali lari dari sana. Tapi apa alasanku lari? Cuma karena ingin menutupi kegugupanku? Ah semoga Edwin tidak menyadari kegugupanku.
            “ Alhamdulillah sae Mas Edwin.” Jawabku. Akhirnya kata itu bisa keluar juga meski harus ku paksa-paksa.
            “ Yunda, Dinda pamit sebentar ya mau ke MIPA. Nanti kalau udah selesai sms aja, aku ke sini lagi”. Yunda hanya menanggapi dengan senyuman dan anggukan.
            “ Loh Din, di sini aja. Kok malah ninggalin aku.” Tanya Edwin.
            “ Hehe Cuma bentar mas, lagi ada perlu.”
            “ Sin, Dina cantik ya? Aku boleh nggak deketin adik kamu itu. Boleh ya? Janji deh bakal bahagiain dia.” Kata Edwin setelah aku pergi.
***
Sepulang dari kampus yunda menceritakan kepadaku akan hal tersebut.
“ Terus Yunda jawab apa?” tanyaku bersemangat.
Tiba-tiba yunda mengamati wajahku. Sepertinya dia sudah mulai curiga.
            “ Ada dengan ekspresimu Dinda? Sepertinya kau riang sekali mendengarkan itu?”
            “ Aku kenapa yunda?” tanyaku
            “ Kamu juga suka sama Edwin nduk?”
Lama,,, tak ada suara. Sunyi. Hingga akhirnya,,,,
            “ Aku juga nggak tahu yunda. Yunda juga tahu kan, aku sangat cinta Reihan. Apa mungkin secepat ini aku berpindah ke hati lain? Aku juga belum cerita ya sama yunda. Reihan putus dari pacarnya yun. Dan orang pertama yang ia beri tahu adalah aku.”
            “ kapan Reihan putus?” tanya yunda
            “ sudah satu minggu. Wajahnya terlihat sekali sedang kehilangan yunda. Hatiku ikut hancur melihat betapa dia mencintai kekasihnya itu. Sepertinya dia benar-benar sangat mencintai mantan kekasihnya itu yunda.”
            “ Sudahlah dik, lupakan saja Reihan. Jujur saja mbak nggak suka kamu dekat dengan Reihan.” Kata yunda
            “ Kenapa yunda? Dia sangat baik.”
            “ Enggak tahu kenapa. Mbak rasa dia nggak baik buat kamu.”
Ada yang mengganjal di hatiku. Kenapa yunda berkata seperti itu? Reihan sangat baik, tampan, kalem, sholih pula, terus apa yang diragukan oleh yunda.
            “ yunda lebih suka kalau kamu sama Edwin saja Dinda. Dia baik, yunda sudah mengenalnya dengan sangat baik.”
            “ Edwin memang baik yunda, tetapi yunda kan tahu siapa yang ada di hatiku”.
            Perkataan yunda terus saja terngiang-ngiang di kepalaku. Aku sangat mencintai Reihan, tetapi kenapa yunda sangat tidak setuju dengan perasaanku tersebut?.

***

            Ada yang berbeda dengan pemandangan sore ini di pantai. Tidak ada semburat warna merah orange di langit, tidak ada burung-burung yang terbang di angkasa. Sore ini langit benar-benar tertutup awan. Kepulannya menyelimuti kecantikan senja seperti biasanya. Aku hanya bisa memainkan kakiku sembari duduk di gazebo di pinggir pantai. Sepertinya langit mendung, ah ini mas bukan sepertinya lagi. Langit memang benar-benar mendung, sebentar lagi juga pasti hujan akan turun. Namun sosok yang sedari tadi aku tunggu-tunggu tak kunjung datang. Dengan sabar ku tunggu pangeranku tersebut.
            Sore ini Reihan mengajakku bertemu di pantai. Katanya ada perihal penting yang ingin dia sampaikan untukku. Sebenarnya aku sedikit gugup menghadapi pertemuan sore ini. Tapi rasa penasaranku mengalahkan degup jantung yang semakin kencang ini. Oh Dinda,,, kau tak boleh GR dulu, mungkin saja ada hal lain yang ingin dia bicarakan.
            Langit semakin gelap, sepertinya sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang. Namun kenapa kehadirannya tak ua aku rasakan. Kenapa dia tak juga datang? Apa dia lupa dengan pertemuan sore ini, bukankah dia sendiri yang mengajakku bertemu?. Perasaan kecewa langsung menerkamku. Sejahat itukah kamu kepadaku Reihan? Aku rela menunggumu di tengah hujan, aku harus menahan dingin dan angin yang siap menerpaku.
            Semakin penasaran, akhirnya ku ambil hp di sakuku. Ada satu pesan masuk. Deg,,, pas ku buka ternyata dari Reihan.

            Reihan
            Dinda, maaf ya aku tak bisa ke sana,,, tiba-tiba Sari menelpon dan memintaku datang ke tempatnya. Maaf banget,,, lain kali biar aku yang main ke tempatmu saja. Sungguh aku menyesal, tapi aku juga nggak mungkin menolak permintaan Sari.
Air mataku jatuh tak mampu ku bendung lagi. Setega inikah kau padaku Reihan. Setidak pentingkah diriku ini untukmu. Ku kira kau sudah lupa dengan wanita yang sempat merenggut kebahagiaanmu itu. Kau bodohi aku yang sudah buta karena cintaku.
Aku tak membalas. Terserah, perasaanku sudah sangat hancur. Oh Tuhan,,, maafkan aku. Aku tak pernah menangis karenaMu, tapi aku menangis sehebat ini hanya karena cintaku kepada makhlukMu.

***

Semua kejadian bodoh itu sudah aku lupakan. Tentu saja, aku adalah tipe orang yang mudah sekali memaafkan kesalahan orang lain. Sebesar apapun orang itu menyakitiku. Akupun sudah memafkan semua yang telah dilakukan Reihan terhadapku. Beribu kata maaf dia ucapkan untukku. Namun rasa sakitku itu benar-benar membuatku sudah tak ingin lagi bertemu dengannya.
Reihan
Din, please maafkan aku. Aku benar-benar menyesal tlah melupakanmu waktu itu. Kau tahu apa yang sebenarnya ingin aku katakan padamu? Aku menyayangimu Dinda. Aku ingin menjadi kekasihmu. Tapi keadaan Sari sore itu benar-benar membutuhkan pertolongan. Please maafkan aku.
Sudah terlambat Reihan. Mulai dari sore itu aku sudah memutuan untuk mengubur dalam-dalam cintaku. Bukannya aku menyerah dengan keadaan. Tapi memang benar kata yunda. Kau memang baik, tapi kau tak baik untukku.
            Semenjak peristiwa sore itu aku memang sudah tak mau lagi bertemu dengannya. Mataku tidak akan mampu menatap matanya lagi. Ah Reihan,,, biarkan ku kubur dalam-dalam cintaku ini. Sudah saatnya aku mencari kebahagiaanku sendiri. Maaf, bukannya aku egois. tapi karena aku tahu, aku nggak akan pernah benar-benar berada dalam hatimu. Aku tak ingin berada dalam bayang-bayang sari, mantan yang sangat kau cintai itu.
Aku adalah apa yang kau rindu, tapi aku tahu aku bukanlah rumah bagimu. Bagimu aku hanyalah tempat singgah sementara dari kisah lainmu. Aku tahu aku tak pernah berada dalam hatimu, aku hanyalah pelarian sesaat ketika kamu terluka. Asal kau tahu, aku adalah waktu yang setiap saat selalu ada untukmu. Meski aku tahu aku akan kau tohok dengan asmaramu.
***
            “ Dinda,,, dapat salam dari Edwin.” Kata yunda.
            “ Haaaaa,,, Mas Edwin?” kataku setengah kaget
            “ Ciye,,, “ kata anak-anak kos berbarengan.
            “ Ah kalian,,, Dinda kan nggak pengen pacaran. Pengalaman kemarin sudah cukup menjadi pelajaran hidup untuk Dinda.” Ucapku kesal
            “ Hahahaha,,, bentar lagi juga pasti jadian tuh sama Mas Edwin.” Celetuk Difa.
Aku hanya manyun menanggapi ocehan-ocehan mereka. Seberapa keras aku membantah tetap saja aku kalah, secara satu lawan anak se kos. Tetapi aku sangat menyayangi mereka. Mereka yang selalu ada saat aku terpuruk seperti kemarin.

***
            Weekend, Lagi-lagi Reihan membujukku untuk bertemu. Kali ini dia rela menjemputku ke kos. Bisa apa aku untuk menolak. Akhirnya akupun mengikuti kemanapun dia mengajakku pergi. Di dalam perjalanan aku sudah pasrah kemanapun aku akan dia ajak pergi. Namun siapa sangka, lagi-lagi pantai ini. Pantai Marina dan senja.
            Sedangkan di kos, ternyata Edwin juga sedang menjemputku. Astaga,,, aku lupa aku juga punya janji dengan Edwin. Setelah diberi tahu dengan keberadaanku oleh yunda, akhirnya dia menyusulku bersama dengan yunda.
            “ Rei, bisakah kita Cuma sebentar di sini? Aku ada janji sore ini. Aku lupa bilang kepadamu tadi.” Kataku sedikit ragu.
Dia mengernyitkan dahinya.
            “ Pentingkah?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk.
            “ Din, aku nggak akan lama kok. Aku cuma mau bertanya padamu. Apakah aku masih ada di dalam hatimu?” tanya Reihan
Aku terdiam, bibirku kelu. Aku tak tahu harus menjawab apa kepada Reihan. Rasa sakit kemarin sudah benar-benar menyadarkanku.
            “ Kenapa diam saja?”
            “ Rei,,, kenapa pertanyaan itu lagi. Aku sudah lelah. Aku sudah tak ingin berurusan dengan yang namanya hati.” Jawabku ragu.
Reihan tertunduk. Senja bahkan tak seindah biasanya. Semburat merah orange terasa hambar aku rasakan. Sentuhan-sentuhan semilir anginpun seperti mengusikku, menggeretku mengajak untuk segera beranjak dari tempat ini.
            “ Din, aku sangat menyayangimu.”
            “ Jangan bohongi perasaanmu Rei. Aku tahu yang ada di dalam hatimu hanya Sari dan Cuma Sari. Sudahlah jangan jadikan aku pelarianmu.” Kataku.
            “ Bukankah dulu kau sangat mencintaiku Din?” tanyanya sekali lagi.
Kali ini matanya benar-benar menatapku.
            “ Itu dulu Rei, jangan samakan dulu dengan sekarang. Jangan lagi-lagi kau siksa aku dengan cinta palsumu itu.” Kini aku yang menangis, aku sudah tak mampu lagi membendung air mata yang semakin lama semakin banyak ini.
            “ Aku sangat menyayangimu Dinda.” Katanya lirih.
Di sudut ke dua mata Reihan pun tersembunyi sebulir butiran bening. Namun dia sangat lihai menyembunyikan perasaannya. Ah,,, toh aku uga nggak tahu apa yang benar-benar ada dalam pikirannya.
            Tiba-tiba hp ku berbunyi.
Suara Difa. Mengabarkan Edwin dan yunda mengalami kecelakaan ketika ingin menyusulku ke pantai. Tanpa berpikir panjang, ku tinggalkan Reihan yang sedang meratap sendirian.
            “ Maaf Rei, aku pergi dulu.”
Aku kalut,,, Yunda,,, Edwin,,, dua orang yang sangat aku cintai. Ya,, akhirnya aku mengakui bahwa hatiku sudah tertambat pada pria sederhana tersebut. Kami jadi sering sms-an, bbm-an, bahkan telpon-telponan. Seluruh penghuni kos juga tahu dengan kegiatan baruku itu. Edwin selalu ada untukku.
***
            Tak membutuhkan waktu lama bagiku untuk menuju ke rumah sakit. Entah sedang beruntung atau memang waktu sedang berpihak padaku. Aku bisa sampai ke rumah sakit dengan lancar.
Aku langsung menuju ke ruang ICU. Di sana sudah ada beberapa anak kos dan yunda yang terduduk di kursi. Wajahnya tersenyum setelah melihatku.
“ Yunda nggak apa-apakan?” tanyaku sambil memeluk tubuhnya.
“ nggak apa-apa sayang.”
“ Mas Edwin gimana yunda?” tanyaku cemas.
            “ belum sadar sayang, tapi insyaallah nggak apa-apa. Benar-benar ada keajaiban sore ini. Sayang,,, Edwin sayang menyayangimu nduk.”
Aku mengangguk, sambil menangis di pelukan yunda.
            “ Aku sudah memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan Reihan yunda. Mungkin kalau hanya sekedar berteman aku masih bisa menerimanya.”
Yunda tersenyum dan kembali memelukku, erat.
            “ Keluarga Mas Edwin...” panggil dokter yang muncul dari ruang ICU.
            “ Iya dok, kami keluarganya.”
            “ Alhamdulillah saudara sudah sadar, dan tak terjadi apa-apa dengan beliau. Hanya sedikikt luka di kakinya.” Kata doker.
Tanpa meminta ijin dari dokter aku langsung nyeloning masuk ke dalam ruang ICU. Di sana kudapati Edwin yang sedang terbaring di atas tempat tidur pasien. Puji syukurku Tuhan,,, senyum itu masih bisa aku nikmati. Bibirnya tersenyum melihatku berhamburan menuju ke tempat tidurnya.
            “ I Love You,,,” ucapnya
            “ Mas Edwin sakit sempat-sempatnya mengatakan kalimat itu.” Celetukku
            “ hahahahahahhaa”
            “ loh kok malah ketawa?” kataku sedikit kesal, melihat dia tertawa padahal dia sedang menahan sakit.
            “ Boleh minta sesuatu nggak? Satu aja,,,”
            “ Apa mas?, apapun pasti ku kabulkan.”
            “ peluk aku dengan hatimu Dinda.”
Air mataku tumpah,,, aku mengangguk pelan kemudian benar-benar memeluknya. Pelukan terhangat yang aku rasakan. Bukan dari Reihan, pria yang sudah lama sangat aku cintai. Melainkan dari Edwin, meskipun tak selama aku mengenal Reihan, tetapi Edwin benar-benar sudah mampu membuktikan keseriusannya dalam ingin memilikiku. Ku tumpahkan semua air mataku dalam pelukan Edwin. Dari luar yunda hanya tersenyum melihat kami berdua.
Sakit karena gagal cinta tak membuatku untuk merasakan indahnya cinta kembali. Ingatlah,,, kebahagiaanmu takkan hilang hanya karena satu hati yang tak pernah memberimu kepastian. Tataplah, diluar sana masih banyak wajah-wajah berseri yang selalu siap menyambutmu. Dialah sahabatmu. Bersabarlah,,, karena Tuhan akan memberimu pasangan yang terbaik menurutNya. Cinta ini terasa indah ku rasakan, karena aku yakin telah ku labuhkan perahu cintaku pada dermaga yang tepat. Ya,,, hati Edwinlah dermaga yang tepat untuk kulabuhkan hati dan cinta ini.
           
The End