Sabtu, 09 Mei 2015

Wanitaku, Pahlawanku


By Bunga Zahrana
Pada ragaku ini tersimpan sebuah harapan besar. Ketika sang surya mulai menampakkan cahayanya, di saat itu pula aku harus bangun dari mimpi indahku untuk kembali beraktivitas ke dalam dunia nyata. Namaku Adinda, aku adalah seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Semarang. Aku mungkin masih awam dalam dunia perkuliahan karena aku adalah mahasiswa baru yang masuk satu bulan lalu. Aku bukanlah seorang anak yang berasal dari keluarga kaya, bahkan dapat dibilang jauh dari kecukupan. Ibuku hanyalah seorang buruh cuci pakaian yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari, meski terkadang aku dan adikku harus berpuasa jika ibu sedang sepi pelanggan. Namun aku tak pernah sepi dari rasa syukurku kepadaNya. Ayahku sudah meninggal ketika aku berusia 10 tahun dan adikku baru berusia 5 tahun. Saat itulah aku merasa terpukul karena orang yang paling aku sayangi dan aku cintai di dunia ini telah pergi untuk selama-lamanya.
***
Pagi ini aku harus benar-benar membuka kedua mataku karena perkuliahan pukul 07.00 akan segera menantiku. Meski sebenarnya mata ini masih berat menatap beban hidupku dan keluargaku.
“Ternyata sudah jam 06.00, aku harus bergegas siap-siap untuk kuliah hari ini”.
Meski sebenarnya ku rasakan lelah yang amat luar biasa karena segudang kegiatan yang mengharuskanku selalu pulang sore, namun aku mencoba untuk tak menghiraukan hal  itu. Karena yang ingin aku lakukan saat ini adalah bagaimana caranya agar aku bisa sukses kelak demi membahagiakan ibu yang selama ini telah membesarkanku sampai aku mampu menempuh pendidikan ke perguruan tinggi. Sebenarnya aku menolak keinginan ibu yang menginginkanku agar meneruskan sekolah ke bangku kuliah ini, namun akhirnya aku menuruti juga keinginan ibu hingga semangatku pun harus ku bangun agar aku tidak mengecewakan ibu nantinya. Dan Alhamdulillah berkat usahaku siang malam belajar dan berdo’a akhirnya aku mendapatkan beasiswa menempuh Pendidikan di sebuah Perguruan Tinggi Negeri .
          Bulan demi bulan ku lewati di negeri perantauan ini sendiri, tanpa dekapan hangat dari ibu yang senantiasa menenangkanku, serta canda tawa Amanda adikku yang acap kali mengundang tawa karena tingkah lucunya. Terkadang aku merasakan kerinduan yang amat dalam terhadap mereka. Apalagi ketika aku menemui kesulitan di sini, benar-benar tidak ada yang mampu membuatku tenang. Dan satu hal yang sering menjadikan renunganku, aku lebih bahagia hidup bersama keluargaku meski jauh dari kecukupan, dari pada di sini jauh dari mereka. Namun itu tak boleh menjadi penghalang dalam tirakatku meraih cita-cita. Semangatku akan memancar kembali ketika aku ingat hal tersebut, aku harus membahagiakan ibu, aku harus bisa membantu ibu terutama dalam merawat Amanda, adikku.
          “Ibu, Dinda janji akan jadi orang yang selalu berbakti. Dinda janji suatu naat nanti Dinda akan sukses dan bisa membahagiakan ibu dan Manda.” Kataku ketika aku pulang ke rumah
          “Dinda anakku, kebahagiaan ibu tidak di ukur dari kesuksesanmu kelak. Ibu sangat berharap supaya kamu bisa menjadi orang sukses kelak nanti. Namun ibu akan lebih bahagia jika kamu bisa selalu berada di samping ibu apalagi ketika ibu sudah tua dan rapuh.” Kata ibu yang diiringi oleh linangan air mata, meski ibu berusaha untuk menyembunyikannya, tapi semua itu tidak dapat disembunyikan dariku.
          “Dinda sayang ibu”. Sambil tersedu aku menangis di pelukan ibu.
          “Andai bapakmu juga berada di sini pada saat ini juga, pasti dia juga akan merasa bangga bisa memiliki anak sepertimu”. Kata ibu.
Mendengar perkataan ibu yang seperti itu aku jadi merasa sedih karena belum sempat aku membuat bapak bahagia dan bangga, tetapi beliau sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
***
Kini aku sudah bisa menemukan seseorang yang benar-benar bisa menjadi teman berbagi. Linta sahabatku, dia teman satu rombelku. Orangnya baik, dan selalu ada di saat suka maupun duka. Meskipun dia adalah anak orang kaya, namun dia tak pernah memilih dalam berteman. Bahkan dia sering sekali membantuku, walau terkadang aku harus menolak karena tak ingin merepotkannya. Persahabatan kami terasa begitu indah dan berwarna, dan tanpa terasa sudah berjalan tiga tahun hingga semester tujuh ini. Aku berharap persahabatan ini akan selalu awet hingga akhir masa ini.
Tanpa aku sadari ternyata ada orang yang syirik terhadap persahabatan kami, dia adalah Jenita. Meskipun dia selalu berusaha memecahkan persahabatan ini, namun aku rasa dia tidak pernah berhasil. Bahkan persahabatan ini semakin terasa hangat.
“segala bentuk rekayasa yang dibuat oleh Jenita takkan mampu memecahkan persahabatan kita Dinda”. Dengan senyum khasnya Linta berkata seperti itu kepadaku
“Linta, akupun berharap seperti itu, ku ingin persahabatan ini takkan berakhir meskipun dunia ini berakhir” kataku.
***
Dunia ini kejam, dunia ini egois. Kini aku mengerti, kenapa bapak    dulu selalu memberi pesan terhadapku. Dunia itu penuh dengan ego, jangan pernah kita menggantungkan diri kepada orang lain yang belum tentu memberi harapan pada kita. Karena bisa jadi hanya harapan-harapan kosonglah yang akan mereka berikan. Dunia itu munafik, maka jangan mudah percaya dengan omongan-omongan yang tak pernah ada pertanggungjawabannya. Aku harus kuat, bahkan meskipun bapak sudah tak ada aku tak boleh jatuh lemah dan masuk dalam lubang penyesalan tiada henti.
“ Dinda, kamu harus bangkit. Jika suatu saat nanti Ibu atau Bapak sudah tidak ada. Bapak harap kamu tetap tumbuh menjadi anak yang kuat, anak yang hebat.” Kata bapak.
Ah,,, kata-kata itu tak pernah luntur dari memori otakku. Setiap kali kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku, air mataku takkan pernah mampu untuk aku bendung.
***
          Kini aku tersadar mengapa Jenita sangat membenciku. Kebencian Jenita terhadapku mungkin sudah tak dapat diukur. Aku hampir di DO karena ulahnya. Beruntung ada Grey yang membantuku menyelesaikan masalah tersebut. Jelas aku tak ingin jika beasiswaku dicabut. Aku pasti akan mengecewakan ibu dan Manda.
Aku baru tahu kenapa Jenita sangat membenciku. Grey. Ya,,, Jenita telah lama memendam rasa terhadap Grey, teman dari SD hingga kuliah. Jenita sengaja mengambil jurusan yang sama dengan Grey karena hanya lewat itu saja dia bisa selalu bersama dengan Grey. Namun sikap Jenita yang terlalu posesif lama-lama membuat Grey muak dan risih jika Jenita mulai mengatur dan melarang setiap kegiatan yang dilakukan oleh Grey.
“ rasanya ingin sekali aku menghindar dari dia Din, tapi dia selalu saja ada dimanapun aku berada” katanya lesu.
Ku tatap lekat-lekat wajahnya, terlihat sekali kalau dirinya merasa tidak nyaman dan tertekan dengan sikap Jenita selama ini.
“ kenapa kamu diam saja Grey?” tanyaku halus.
“ dia selalu mengancamku Din, dia pasti bilang mau bunuh diri jika aku menghindarinya” balasnya
“ Din, kamu tahu kenapa selama ini aku kekeh dengan keputusanku untuk tidak menerima Jen? Itu karena kamu Din. Sejak awal masuk aku sudah tertarik denganmu. Entah kenapa kehadiranmu benar-benar memberi aroma baru dalam hidupku yang sudah lama tak berwarna. Kau tahu, semenjak kepergian kedua orang tuaku, aku benar-benar merasa sendiri. Tetapi setelah ada kamu, aku benar-benar merasakan kembali apa itu hidup.” Kata Grey panjang lebar.
“ Kalian ngapain berdua di sini?” tanya Jenita geram.
Terlihat sekali kemarahan bersarang di wajah gadis cantik tersebut.
          “ Kami nggak ngapa-ngapai Jen.” Jelasku.
          “ Bohong...” sahut Jenita.
Aku mengalah, aku mundur. Bukan karena aku menyerah. Aku tak mau pendidikan yang sudah beberapa tahun ini hancur karena keegoisan hatiku. Maafkan aku Grey, akupun sangat mencintaimu. Atapi aku lebih memilih keluargaku. Aku tak mau mengecewakan ibu dan manda. Aku tahu tampak sekali kekecewaan di raut mukamu. Tapi inilah pilihanku, biarkan aku berjuang demi keluargaku.
          “ Kalau kamu tak percaya, akan aku jauhi Grey Jen. Biar kamu puas sekalian” kataku sambil berlalu.
Jenita hanya terdiam merasakan kepuasan karena mengalahku.
Grey. Jikapun nanti kita memang ditakdirkan untuk bersama, yakinlah kita pasti akan bersatu. Bukan sekarang, tapi saat waktu yang tepat. Aku pun sudah lama memendam perasaan ini padamu, tapi di sini aku ada suatu hal yang harus aku prioritaskan. Bukannya kamu tak penting bagiku, tapi memang saat ini belum waktunya kita bersama.
***
Angin sore ini terlalu sepoi ku rasakan. Aku hanya bisa tersenyum menikmati setiap sentuhan yang sedikit menggelitik tubuhku. Kini aku bisa tersenyum bahagia melihat apa yang bisa aku berikan kepada ibu dan Manda, adikku.
Tahun lalu aku berhasil menyelesaikan studyku dengan hasil comlaud. Namun jangan pernah bayangkan semua ini aku lalui dengan mudah. Aku harus jatuh bangun untuk dapat meraihnya. Namun semua terbayar dengan banyaknya perusahaan yang melirikku. Setelah lulus aku langsung mendapatkan pekerjaan yang dapat dibilang sangat pantas aku dapatkan. Ibu dan Manda langsung aku boyong ke rumah baruku. Semua ini karena ibu. Selama ini beliau sudah bersusah ayah banting tulang demi aku dan Manda. Beliau tak pernah mengeluh dengan apa yang dirasakannya. Semua ia tanggapi dengan senyum tanpa sedikitpun ada rasa lelah di wajahnya. Hidup bertiga tanpa kehadiran ayah benar-benar membuat kami harus berjuang menjalani hidup ini. Terutama ibu yang harus berperan sebagai ibu sekaligus menjadi kepala keluarga. Dan itu semua dijalani ibu tanpa keluhan.
Ibu, sekarang semua ini milik ibu dan Manda. Mungkin tak dapat menggantikan apa yang sudah ibu lakukan selama ini. Tetapi setidaknya dengan ini semua aku takkan pernah membuat ibu kecewa. Aku rela meski harus mengorbankan perasaanku. Kau akan tetap menjadi pahlawanku. Grey. Aku yakin jika waktu memang ditakdirkan menjadi milik kita berdua, suatu saat kita pasti akan ditemukan pula oleh waktu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar