By Bunga
Zahrana
Pada
ragaku ini tersimpan sebuah harapan besar. Ketika sang surya mulai menampakkan
cahayanya, di saat itu pula aku harus bangun dari mimpi indahku untuk kembali
beraktivitas ke dalam dunia nyata. Namaku Adinda, aku adalah seorang mahasiswi
di sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Semarang. Aku mungkin masih awam
dalam dunia perkuliahan karena aku adalah mahasiswa baru yang masuk satu bulan
lalu. Aku bukanlah seorang anak yang berasal dari keluarga kaya, bahkan dapat
dibilang jauh dari kecukupan. Ibuku hanyalah seorang buruh cuci pakaian yang
penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari, meski terkadang aku dan
adikku harus berpuasa jika ibu sedang sepi pelanggan. Namun aku tak pernah sepi
dari rasa syukurku kepadaNya. Ayahku sudah meninggal ketika aku berusia 10
tahun dan adikku baru berusia 5 tahun. Saat itulah aku merasa terpukul karena
orang yang paling aku sayangi dan aku cintai di dunia ini telah pergi untuk
selama-lamanya.
***
Pagi ini
aku harus benar-benar membuka kedua mataku karena perkuliahan pukul 07.00 akan
segera menantiku. Meski sebenarnya mata ini masih berat menatap beban hidupku
dan keluargaku.
“Ternyata
sudah jam 06.00, aku harus bergegas siap-siap untuk kuliah hari ini”.
Meski
sebenarnya ku rasakan lelah yang amat luar biasa karena segudang kegiatan yang
mengharuskanku selalu pulang sore, namun aku mencoba untuk tak menghiraukan hal
itu. Karena yang ingin aku lakukan saat
ini adalah bagaimana caranya agar aku bisa sukses kelak demi membahagiakan ibu yang
selama ini telah membesarkanku sampai aku mampu menempuh pendidikan ke
perguruan tinggi. Sebenarnya aku menolak keinginan ibu yang menginginkanku agar
meneruskan sekolah ke bangku kuliah ini, namun akhirnya aku menuruti juga
keinginan ibu hingga semangatku pun harus ku bangun agar aku tidak mengecewakan
ibu nantinya. Dan Alhamdulillah berkat usahaku siang malam belajar dan berdo’a
akhirnya aku mendapatkan beasiswa menempuh Pendidikan di sebuah Perguruan
Tinggi Negeri .
Bulan demi bulan ku lewati di negeri
perantauan ini sendiri, tanpa dekapan hangat dari ibu yang senantiasa menenangkanku,
serta canda tawa Amanda adikku yang acap kali mengundang tawa karena tingkah
lucunya. Terkadang aku merasakan kerinduan yang amat dalam terhadap mereka.
Apalagi ketika aku menemui kesulitan di sini, benar-benar tidak ada yang mampu
membuatku tenang. Dan satu hal yang sering menjadikan renunganku, aku lebih
bahagia hidup bersama keluargaku meski jauh dari kecukupan, dari pada di sini
jauh dari mereka. Namun itu tak boleh menjadi penghalang dalam tirakatku meraih
cita-cita. Semangatku akan memancar kembali ketika aku ingat hal tersebut, aku
harus membahagiakan ibu, aku harus bisa membantu ibu terutama dalam merawat
Amanda, adikku.
“Ibu, Dinda janji akan jadi orang yang
selalu berbakti. Dinda janji suatu naat nanti Dinda akan sukses dan bisa
membahagiakan ibu dan Manda.” Kataku ketika aku pulang ke rumah
“Dinda anakku, kebahagiaan ibu tidak
di ukur dari kesuksesanmu kelak. Ibu sangat berharap supaya kamu bisa menjadi
orang sukses kelak nanti. Namun ibu akan lebih bahagia jika kamu bisa selalu berada
di samping ibu apalagi ketika ibu sudah tua dan rapuh.” Kata ibu yang diiringi
oleh linangan air mata, meski ibu berusaha untuk menyembunyikannya, tapi semua
itu tidak dapat disembunyikan dariku.
“Dinda sayang ibu”. Sambil tersedu aku
menangis di pelukan ibu.
“Andai bapakmu juga berada di sini
pada saat ini juga, pasti dia juga akan merasa bangga bisa memiliki anak
sepertimu”. Kata ibu.
Mendengar
perkataan ibu yang seperti itu aku jadi merasa sedih karena belum sempat aku
membuat bapak bahagia dan bangga, tetapi beliau sudah dipanggil oleh Yang Maha
Kuasa.
***
Kini aku
sudah bisa menemukan seseorang yang benar-benar bisa menjadi teman berbagi.
Linta sahabatku, dia teman satu rombelku. Orangnya baik, dan selalu ada di saat
suka maupun duka. Meskipun dia adalah anak orang kaya, namun dia tak pernah
memilih dalam berteman. Bahkan dia sering sekali membantuku, walau terkadang
aku harus menolak karena tak ingin merepotkannya. Persahabatan kami terasa
begitu indah dan berwarna, dan tanpa terasa sudah berjalan tiga tahun hingga
semester tujuh ini. Aku berharap persahabatan ini akan selalu awet hingga akhir
masa ini.
Tanpa
aku sadari ternyata ada orang yang syirik terhadap persahabatan kami, dia
adalah Jenita. Meskipun dia selalu berusaha memecahkan persahabatan ini, namun
aku rasa dia tidak pernah berhasil. Bahkan persahabatan ini semakin terasa
hangat.
“segala
bentuk rekayasa yang dibuat oleh Jenita takkan mampu memecahkan persahabatan
kita Dinda”. Dengan senyum khasnya Linta berkata seperti itu kepadaku
“Linta,
akupun berharap seperti itu, ku ingin persahabatan ini takkan berakhir meskipun
dunia ini berakhir” kataku.
***
Dunia ini kejam, dunia ini egois. Kini aku
mengerti, kenapa bapak dulu selalu memberi pesan terhadapku. Dunia
itu penuh dengan ego, jangan pernah kita menggantungkan diri kepada orang lain
yang belum tentu memberi harapan pada kita. Karena bisa jadi hanya
harapan-harapan kosonglah yang akan mereka berikan. Dunia itu munafik, maka
jangan mudah percaya dengan omongan-omongan yang tak pernah ada
pertanggungjawabannya. Aku harus kuat, bahkan meskipun bapak sudah tak ada aku
tak boleh jatuh lemah dan masuk dalam lubang penyesalan tiada henti.
“ Dinda, kamu harus bangkit. Jika suatu saat
nanti Ibu atau Bapak sudah tidak ada. Bapak harap kamu tetap tumbuh menjadi
anak yang kuat, anak yang hebat.” Kata bapak.
Ah,,, kata-kata itu tak pernah luntur dari memori otakku. Setiap
kali kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku, air mataku takkan pernah mampu
untuk aku bendung.
***
Kini aku tersadar
mengapa Jenita sangat membenciku. Kebencian Jenita terhadapku mungkin sudah tak
dapat diukur. Aku hampir di DO karena ulahnya. Beruntung ada Grey yang
membantuku menyelesaikan masalah tersebut. Jelas aku tak ingin jika beasiswaku
dicabut. Aku pasti akan mengecewakan ibu dan Manda.
Aku baru tahu kenapa Jenita sangat membenciku.
Grey. Ya,,, Jenita telah lama memendam rasa terhadap Grey, teman dari SD hingga
kuliah. Jenita sengaja mengambil jurusan yang sama dengan Grey karena hanya
lewat itu saja dia bisa selalu bersama dengan Grey. Namun sikap Jenita yang
terlalu posesif lama-lama membuat Grey muak dan risih jika Jenita mulai
mengatur dan melarang setiap kegiatan yang dilakukan oleh Grey.
“ rasanya ingin sekali aku menghindar dari dia
Din, tapi dia selalu saja ada dimanapun aku berada” katanya lesu.
Ku tatap lekat-lekat wajahnya, terlihat sekali kalau dirinya merasa
tidak nyaman dan tertekan dengan sikap Jenita selama ini.
“ kenapa
kamu diam saja Grey?” tanyaku halus.
“ dia selalu mengancamku Din, dia pasti bilang
mau bunuh diri jika aku menghindarinya” balasnya
“ Din, kamu tahu kenapa selama ini aku kekeh
dengan keputusanku untuk tidak menerima Jen? Itu karena kamu Din. Sejak awal
masuk aku sudah tertarik denganmu. Entah kenapa kehadiranmu benar-benar memberi
aroma baru dalam hidupku yang sudah lama tak berwarna. Kau tahu, semenjak
kepergian kedua orang tuaku, aku benar-benar merasa sendiri. Tetapi setelah ada
kamu, aku benar-benar merasakan kembali apa itu hidup.” Kata Grey panjang
lebar.
“ Kalian ngapain berdua di sini?” tanya Jenita
geram.
Terlihat sekali kemarahan bersarang di wajah gadis cantik tersebut.
“ Kami nggak
ngapa-ngapai Jen.” Jelasku.
“ Bohong...” sahut
Jenita.
Aku mengalah, aku mundur. Bukan karena aku menyerah. Aku tak mau
pendidikan yang sudah beberapa tahun ini hancur karena keegoisan hatiku. Maafkan aku Grey, akupun sangat mencintaimu.
Atapi aku lebih memilih keluargaku. Aku tak mau mengecewakan ibu dan manda. Aku
tahu tampak sekali kekecewaan di raut mukamu. Tapi inilah pilihanku, biarkan
aku berjuang demi keluargaku.
“ Kalau kamu tak
percaya, akan aku jauhi Grey Jen. Biar kamu puas sekalian” kataku sambil
berlalu.
Jenita hanya terdiam merasakan kepuasan karena mengalahku.
Grey. Jikapun nanti kita memang ditakdirkan untuk bersama, yakinlah
kita pasti akan bersatu. Bukan sekarang, tapi saat waktu yang tepat. Aku pun
sudah lama memendam perasaan ini padamu, tapi di sini aku ada suatu hal yang
harus aku prioritaskan. Bukannya kamu tak penting bagiku, tapi memang saat ini
belum waktunya kita bersama.
***
Angin sore ini terlalu sepoi ku rasakan. Aku
hanya bisa tersenyum menikmati setiap sentuhan yang sedikit menggelitik
tubuhku. Kini aku bisa tersenyum bahagia melihat apa yang bisa aku berikan
kepada ibu dan Manda, adikku.
Tahun lalu aku berhasil menyelesaikan studyku
dengan hasil comlaud. Namun jangan pernah bayangkan semua ini aku lalui dengan
mudah. Aku harus jatuh bangun untuk dapat meraihnya. Namun semua terbayar
dengan banyaknya perusahaan yang melirikku. Setelah lulus aku langsung
mendapatkan pekerjaan yang dapat dibilang sangat pantas aku dapatkan. Ibu dan
Manda langsung aku boyong ke rumah baruku. Semua ini karena ibu. Selama ini
beliau sudah bersusah ayah banting tulang demi aku dan Manda. Beliau tak pernah
mengeluh dengan apa yang dirasakannya. Semua ia tanggapi dengan senyum tanpa sedikitpun
ada rasa lelah di wajahnya. Hidup bertiga tanpa kehadiran ayah benar-benar
membuat kami harus berjuang menjalani hidup ini. Terutama ibu yang harus
berperan sebagai ibu sekaligus menjadi kepala keluarga. Dan itu semua dijalani
ibu tanpa keluhan.
Ibu, sekarang semua ini milik ibu dan Manda.
Mungkin tak dapat menggantikan apa yang sudah ibu lakukan selama ini. Tetapi
setidaknya dengan ini semua aku takkan pernah membuat ibu kecewa. Aku rela
meski harus mengorbankan perasaanku. Kau akan tetap menjadi pahlawanku. Grey. Aku
yakin jika waktu memang ditakdirkan menjadi milik kita berdua, suatu saat kita
pasti akan ditemukan pula oleh waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar