Rabu, 25 September 2013

KEJORA DI SURABAYA

Daun-daun berguguran memenuhi bangku yang dia duduki. Dia tersentak dari lamunannya ketika salah satu daun mengenai wajahnya. Ternyata daun tahu juga akan kesedihannya,,, air mata terus saja membanjiri pipinya, hingga sore haripun ia masih saja betah meletakkan bokongnya di kursi tua itu. Tempat ini memang sudah menjadi tempat favoritnya, apalagi jika saat sedih sedang melanda. Pasti dia akan menghabiskan waktu di sana.
Mentari telah di telan kegelapan, angin sorepun semakin kencang berhembus. Hingga akhirnya ada seorang perempuan setengah baya datang menghampirinya.
“ Bunga pulang yuk sayang” ajak perempuan itu dengan suara yang sangat lembut.
Bunga menoleh, lalu hanya menanggapi ajakkan Ibunya dengan senyuman. Kemudian tatapan matanya kembali lagi kosong ke depan. Entah apa yang ada di bayangannya saat ini. Mungkinkah bayang-bayang masa lalu yang sulit sekali untuk ia lupakan.
***

Liburan kali ini aku sekeluarga memag sudah merencanakan untuk berlibur ke Vila kami di puncak. Setiap kali liburan keluargaku memang suka sekali menghabiskan waktu di sini. Udara yang sejuk serta pemandangan indah yang sering menjadi alasan kenapa keluargaku senang sekali berlibur ke puncak. Bukan hanya sekedar menghilangkan kepenatan karena pekerjaan di kota, namun kebersamaan yang amat sangat jaranglah salah satu alasan mengapa kami suka meluangkan waktu berlibur seperti saat ini.
Ada yang berbeda dalam liburan kali ini, karena ternyata segenap keluarga besarku berkumpul bersama. Tentu saja ini adalah saat-saat yang jarang sekali untuk ku temui. Senang sekali rasanya aku bisa berkumpul dengan mereka, ini adalah moment yang sangat aku tunggu-tunggu sejak dulu. Apalagi ada,,,, Fery. Sepupuku, yang sekaligus telah mampu merenggut hatiku.
Perasaan ini salah, aku tahu. Namun aku tak mampu untuk mendustai hatiku sendiri karena rasa ini nyata adanya. Rasa kagum mulai muncul sejak pertemuan pertama itu ketika kami masih sama-sama kecil. Namun jarak adalah sebuah jurang pemisah selama ini. Aku yang tinggal di Semarang Jawa Tengah, sedangkan kakakku Fery di Surabaya. Selain itu pertemuan yang sudah sangat lama itu membuat kami nggak akrab satu sama lain.
***
Memang tak ada yang bisa menggantikan sejuknya udara puncak. Ku pejamkan mata ini sembari menghirup segarnya oksigen yang kemudian mengalir menuju paru-paruku. Subhanallah,,,,,,, dari balik jendela kamarku inilah salah satu tempat favoritku untuk menghilangkan segala rasa penat dan menikmati betapa indahnya ciptaan Tuhan yang telah disediakan untuk kita. Sudah terlalu lama aku melihat dunia luar, hingga nggak kerasa ternyata kepalaku sudah mulai pusing karena dingin.
“ Bunga,,, ayo kamu ikut tidak? “ teriakan mama dari luar yang akhirnya mampu membuatku beranjak dari tempat ini.
Aku langsung turun menuju ruang tengah. Hampir trenyuh ketika aku melihat semua sanak saudara berkumpul di ruang tengah. Ya iyalah... bener-bener sebuah kesempatan yang sangat jarang aku temukan.
“ Maaf Ma, Bunga nggak bisa ikut jalan-jalan.” Dengan muka sedih aku harus bilang seperti itu.
“ Loh kenapa nok? “ tanya Om Ruki
“ Lagi nggak enak badan om, jalan-jalannya kan lama. Takut nggak kuat. Hehehe “ .
“ Yakin nanti nggak nyesel? “ tanya mama sekali lagi.
Fiucchhhhhh..... dengan helaan nafas panjang ku katakan nggak untuk sekali lagi.
But,,,,, aku nggak perlu sedih. Because Om Ruki meminta Fery untuk tidak ikut saja dan menemaniku, yah katanya sih takut kalau nanti ada apa-apa terhadapku. Sumpah rasanya seperti ketiban rejeki, kalau ketiban duren gimana ya rasanya?, hehehehehe.
Fery nurut-nurut saja dengan perkataan Om Ruki, tak ada kalimat membantah apalagi menolak. Ternyata ada hikmah dibalik rasa sakit di kepala yang sedang aku derita ini.
            Seharian kami hampir bersama, Fery tak pernah membiarkanku sendiri. Kecuali hanya saat  dia sedang ada perlu saja. Bahkan hal yang paling tak terdugapun terjadi. Dia membuatkan masakan untukku yang rasanya hmmmmmmm enak banget.
            “ Mas Fery, Bunga jadi ngrepotin mas. “ kataku dengan nada lirih.
Dia tersenyum, lalu menghampiri dan duduk di sebelahku.
            “ Bunga, kamu itu adekku. Ya wajarlah jika semua ini aku lakukan. Kenapa kamu malah merasa nggak enak seperti itu. “ katanya lembut.
Hanya adek, sebuah kalimat yang benar-benar menyadarkanku dari mimpi panjang yang selama ini tak kunjung berakhir. Hatiku terasa pilu, seperti tertusuk sebatang lidi namun sangat menyakitkan.
***
Entah kabar gembira atau kabar duka. Mama menelpon memberitahukan jika mereka nggak bisa pulang malam ini. Mobil mereka mogok dan baru bisa jalan lagi besok sehingga mereka memutuskan untuk menginap semalam di hotel.
“ Jangan khawatir, mereka pulang besok kok dek.” Suara Fery tiba-tiba mengagetkanku.
“ Eh iya mas, nggak apa-apa. Aku juga udah baikan kok. Cuma aku bener-bener malu jadi ngrepotin mas Fery seharian.” Kataku lirih.
“ Loh loh siapa bilang ngrepotin? Memangnya kamu nggak nganggep aku kakak kok bilang seperti itu?” sebuah pertanyaan yang benar-benar membuat jantungku tak mau lagi berdetak.
Harus ku anggap apa engkau? Rasa ini sungguh-sungguh nyata adanya. Kasih ini bukan sebuah garis semu yang mampu menghentikan langkahku. Aku paham akan posisiku sebagai seorang adik bagimu, namun  di sisi lain aku juga tak mampu menepis perbuatan dosa ini. Mungkin memang bukan sebuah perbuatan dosa, tapi ini SALAH.
“ Mas Fery nggak capek? Aku udah baikan kok. Justru rasanya aku malah pengen keluar menikmati udara segar.” Ujarku.
Lagi-lagi senyum itu selalu menjawab apa yang aku mau. Bahkan dengan senang hati dia mau mengajakku keluar untuk jalan-jalan. Lalu yang ada di benakku kini, apakah dia juga akan menunjukkan senyumnya sebagai tanda iya jika suatu ketika aku mengatakan bahwa aku mencintainya dan memintanya untuk mencintaiku juga?. 
Melewati jalan setapak, kecil namun tak sempit. Satu persatu langkah ini terayun beriringan bersamanya. Di balik pilu yang bersarang, mengembang sebuah senyum yang tersimpan rapat di hatiku.
Berhubung Fery kurang mengenal daerah ini, akhirnya aku yang memutuskan tempat yang akan kami kunjungi. Tidak jauh, langkah kami terhenti pada sebuah taman di tengah kota.
***
Tiada hari tanpa melamun, mungkin sudah menjadi hoby kali ya. Fery,,, namamu tak pernah beranjak dari otakku. Menyiksa? Pasti. Tapi aku juga tak mampu mengungkapkanya, apalagi dengan jujur mengatakan apa yang aku rasakan.
Semakin lama sepertinya Fery mulai merasakan keanehan pada diriku. Terbukti saat sore hari ketika kami sama-sama sedang menikmati udara sore pada salah satu bukit di belakang vila.
“ Jujur, akhir-akhir ini mas merasa ada yang aneh pada kamu Bunga. Kamu masih sakit dek?” tanyanya penuh perhatian.
“ Eh,,, eng,,,enggak mas. Memangnya aneh gimana mas?” kataku mengelak
“ lebih sering diem, tatapanmu juga sering kosong.” Ujarnya
Hatiku meronta-ronta, menjerit karena terluka. Andai kau tahu mas apa yang aku rasakan selama ini. Rasa yang hampir melumpuhkan jantungku, mematikan nadiku. Namun aku juga tak mau menodai benang merah yang sudah terikat kencang di antara kita. Kita sedarah, kita tak mungkin bersatu. Meski bisa.
            Tanpa ku sadari ternyata aku sudah tak mampu lagi membendung air mata yang selama ini sudah aku tahan agar tidak jebol. Perlahan air mataku leleh bak lilin yang disodori api membara. Fery semakin bingung dengan apa yang sedang terjadi padaku. Sejenak aku terdiam, namun tanpa pikir panjang akupun menghambur ke pelukan Fery.
            “ Aku tak ingin mas Fery meninggalkanku. Aku ingin mas Fery selalu ada di sisiku”. Kataku sambil sesenggukan.
Aku tahu Fery semakin bingung, hingga dia tak mampu menyusun kata untuk bertanya lebih jauh lagi padaku. Namun akhirnya kalimat darinya pun keluar lagi.
            “ kamu ngomog apa sih dek? Mas di sini kok.” Ucapnya.
            “ Biarkan aku puas memelukmu untuk saat ini mas.” Kataku
Fery mengencangkan pelukannya. Hangat, nyaman.
Aku memang belum mampu untuk jujur kepadanya, aku pun tahu Fery masih menyimpan kebingungan dalam hatinya. Namun sepertinya dia tak mau mengusikku dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan membuatku semakin sedih.

***
            Pagipun tiba. Mentari dengan setianya memacarkan kehangatan setelah malam menebar hembusan hawa dingin. Pagi ini keluarga besarku sudah kembali ke vila. Vila yang mulanya sepi kini rame lagi dengan jerit dan tawa keluargaku, terutama si tuyul-tuyul kecil yang selalu mengundang tawa karena tingkah lucu mereka. Senyumku kembali mengembang, nggak lucu dong aku terlihat muram ditengah-tengah kehangatan mereka. Ntar malah ditanya aneh-aneh lagi, kan bingung mau jawab apa ntar. Namun di sudut lain ku temukan tatapan beda dari Fery, sudah bisa ku tebak. Dia pasti masih penasaran dengan apa yang terjadi padaku kemaren.
            “ Bunga,,, “ Suara itu tiba-tiba mengagetkanku dari lamunan, sejak tadi aku memang sudah melamun di teras rumah.
            “ Mas Fery,,,” kataku
            “ Akhir-akhir ini aku perhatiin kamu sering ngelamun dek, kemaren juga tiba-tiba nangis. Kamu kenapa? Adakah masalah yang sebenarnya ingin kamu bagi?” tanya Fery.
            Adakah masalah yang sebenarnya ingin kamu bagi?. Jleg,,, jantungku serasa berhenti terlindas kekagetan dari pertanyaan Mas Fery. Tentu saja ada yang ingin ku bagi, tapi aku tak sanggup untuk mengatakannya. Kata-kata itu serasa tertahan di tenggorokanku. Aku tak mau kehilangan kamu Mas Fery. Aku tak mau kamu menjauhiku.
            “ Aku mimpi buruk tentang Mas Fery, makanya kemaren aku nangis minta peluk Mas Fery, dan bilang nggak mau kehilangan Mas Fery. Bunga sayang sama Mas Fery. Bunga nggak mau kehilangan mas.” Kataku.
            Dengan segera Mas Fery meraih tubuhku, dan menarik ke dalam pelukannya.
            “ Takkan terjadi apa-apa pada mas dek, mas juga sayang Bunga. Mas juga nggak mau berpisah dari Bunga.” Kata Mas Fery dengan lembut.
Andai mas, andai aku dapat mengatakan semuanya padamu apa yang sebenarnya terjadi.
***
            Seminggu sudah kami menikmati liburan bersama ini. Tak terasa sekali bila di rasa-rasakan. Yah itu tandanya aku akan berpisah dengan Fery. Perjalanan pulang aku lebih memilih naik mobil Om Ruki, hehe agar aku bisa dekat sama Fery.MODUS
            Sehari semalam perjalanan tersebut, aku duduk di sebelah Fery. Dengan erat Fery menggenggam tanganku.
            “ Kita pasti bakal lama nggak ketemu ya dek”. Kata Mas Fery.
Aku menoleh dan tersenyum padanya. Ku tatap lekat-lekat mata itu. Damai dan menyejukkan. Kepalaku ku sandarkan di pundaknya. Yang membuatku bahagia adalah, dia membiarkanku melakukan hal tersebut. Justru malah tangannya ikut memeluk kepalaku.
            Oh Tuhan,,, ingin rasanya ku hentikan waktu saat ini juga. Agar aku bisa menikmati saat-saat seperti ini untuk selamanya.
Sehari semalam ternyata bukan waktu yang lama. Detik-detik waktu terasa singkat berdentang. Tak  terasa ternyata mobil Om Ruki sudah parkir di depan rumah. Hanya keluarga Om Ruki yang ikut mengantarkan ke rumah dan itupun hanya sebentar mereka melepas lelah, hingga akhirnya Om Ruki memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Surabaya.
Sedih? Sudah pasti.
***
Sore itu aku mendapat kabar bahwa Fery mengalami kecelakaan. Dan naasnya kecelakan tersebut telah merenggut nyawanya. Air mataku sudah tak mampu lagi ku bendung. Ia leleh bersama runtuhnya hatiku.
            Tuhan,,, kenapa Kau ambil Fery..???? Jika tak Kau ijinkan aku bersamanya, ku mohon jangan begini caranya. Bangunkan aku dari mimpi ini. Aku yakin ini pasti hanya mimpi. Aku rela harus mengubur dalam-dalam perasaan ini, dari pada aku harus menyaksikan raganya yang di kubur. Aku tak mau kehilangan dia Tuhan.
            Sore itu juga aku sekeluarga memutuskan langsung berangkat ke Surabaya. Dalam perjalanan perasaaku sudah berkecamuk. Pikiranku entah melayang kemana. Dari balik jendela mobil ku tatap langit-langit berbalut senja. Tiba-tiba saja wajah Fery muncul di antara burung-burung yang sedang beterbangan. Wajahnya tersenyum padaku dan seolah-olah ingin berkata,,, Jangan sedih,,,Mas Fery sayang Bunga selalu,,,
            Aku tersentak dari lamunan, saat mobil papa tiba-tiba berhenti. Bukan masalah serius. Mobil melaju lagi setelah beberapa menit kemudian. Sepertiya khayalanku mulai mengusik lagi.
            Seharian aku duduk di dalam mobil karena perjalanan ke sana memang sangat jauh. Hingga akhirya kamipun sampai di rumah Fery. Suasana duka sangatlah terasa. Fery adalah anak pertama Om Ruki dari dua bersaudara. Sedangkan Riky adik Fery masih kecil. Aku hanya mampu menahan air mata meskipun sesekali bendungan itu tetap jebol.
***
            Pukul 09.00 acara pemakaman berlangsung. Aku hanya mampu terduduk lemas di sebelah liang lahat tempat peristirahatan terakhir Fery. Mama Fery sampai tak kuasa melihat tubuh anaknya di masukkan ke dalamnya hingga akhirnya pingsan. Air mataku tak henti-hentinya menetes. Oh Tuhan kenapa harus dengan cara seperti ini Kau pisahkan aku darinya.
            Malam harinya ada acara tahlilan di Rumah Fery. Tante menyodorkan sepucuk surat terbungkus amplop berwarna pink yang sangat cantik. Aku membacanya di loteng lantai dua rumah Fery.
Sudah ku baca semua yang tergores dalam diary kesayanganmu. Bunga,,, betapa bodohnya kakakmu ini yang tidak pernah menyadari atas apa yang telah terjadi. Maafkan aku yang selama ini sudah menyakitimu. Aku memang bukan seorang kakak yang baik untukmu.
Kini ku baru sadar, kenapa kamu sering murung. Kamu pasti tersiksa dengan adanya diriku di sisimu waktu itu. Kini aku  baru sadar, kenapa saat itu kamu menuangkan semua air matamu dalam pelukanku, kini ku sadar kenapa kamu tak mau kehilanganku. Ternyata ada perasaan cinta dalam hatimu.
Bunga buka berarti aku tak mampu mencintaimu. Aku mencintaimu Bunga. Aku mencintaimu sebagai seorang adekku. Aku juga tak mau berpisah denganmu karena aku sayang kepadamu dek. Aku tak pernah menyalahkanmu, meski Tuhan memberitahuku lewat cara seperti ini, tak secara langsung dari bibirmu.
Bunga, terima kasih atas perasaan lebih yang telah kau berikan kepadaku. Namun maaf, aku tak mampu membalas apa yang sudah kamu berikan padaku tersebut. Sampai kapanpu apa yang kamu inginkan tidak akan pernah terjadi. Kita pasti akan selalu bersama Bunga sayang. Namun tetap dalam suasana seperti semula. Aku adalah kakakmu, dan kau adalah adikku. Mas Fery sayang sekali sama Bunga J

            Aku kaget karena baru menyadari bahwa diaryku tidak ada. Ternyata sudah sampai ke tangan Fery. Oh God... Sekencang mungkin aku menangis. Mengeluarkan segala pilu yang selama ini aku tahan. Namun mataku tiba-tiba terhenti pada sebuah benda yang berkilau memancarkan cahaya di atas langit. Sebuah kejora yang sinarnya sagatlah kuat memancar. Lagi-lagi wajah Fery sekilas muncul di atas langit sana. Tepat pada titik dimana bintang itu bersinar. Dia tersenyum, sepertinya dia sangat bahagia.
            Mas Fery, sepertinya kau sudah bahagia di Surga sana. Aku janji aku tak akan bersedih lagi. Terima kasih, lewat kejora itu aku akan selalu tahu bahwa kau masih ada di dekatku meski ragamu sudah tak berada di sisiku lagi. Kamu adalah kakak yang terbaik yang pernah aku miliki selama ini.

            Tanpa ku sadari ternyata sedari tadi ada sosok yang selalu mengawasiku. Teman Fery.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar