Daun-daun
berguguran memenuhi bangku yang dia duduki. Dia tersentak dari lamunannya
ketika salah satu daun mengenai wajahnya. Ternyata daun tahu juga akan kesedihannya,,,
air mata terus saja membanjiri pipinya, hingga sore haripun ia masih saja betah
meletakkan bokongnya di kursi tua itu. Tempat ini memang sudah menjadi tempat
favoritnya, apalagi jika saat sedih sedang melanda. Pasti dia akan menghabiskan
waktu di sana.
Mentari
telah di telan kegelapan, angin sorepun semakin kencang berhembus. Hingga
akhirnya ada seorang perempuan setengah baya datang menghampirinya.
“
Bunga pulang yuk sayang” ajak perempuan itu dengan suara yang sangat lembut.
Bunga
menoleh, lalu hanya menanggapi ajakkan Ibunya dengan senyuman. Kemudian tatapan
matanya kembali lagi kosong ke depan. Entah apa yang ada di bayangannya saat
ini. Mungkinkah bayang-bayang masa lalu yang sulit sekali untuk ia lupakan.
***
Liburan
kali ini aku sekeluarga memag sudah merencanakan untuk berlibur ke Vila kami di
puncak. Setiap kali liburan keluargaku memang suka sekali menghabiskan waktu di
sini. Udara yang sejuk serta pemandangan indah yang sering menjadi alasan
kenapa keluargaku senang sekali berlibur ke puncak. Bukan hanya sekedar
menghilangkan kepenatan karena pekerjaan di kota, namun kebersamaan yang amat
sangat jaranglah salah satu alasan mengapa kami suka meluangkan waktu berlibur
seperti saat ini.
Ada
yang berbeda dalam liburan kali ini, karena ternyata segenap keluarga besarku
berkumpul bersama. Tentu saja ini adalah saat-saat yang jarang sekali untuk ku
temui. Senang sekali rasanya aku bisa berkumpul dengan mereka, ini adalah
moment yang sangat aku tunggu-tunggu sejak dulu. Apalagi ada,,,, Fery.
Sepupuku, yang sekaligus telah mampu merenggut hatiku.
Perasaan
ini salah, aku tahu. Namun aku tak mampu untuk mendustai hatiku sendiri karena
rasa ini nyata adanya. Rasa kagum mulai muncul sejak pertemuan pertama itu
ketika kami masih sama-sama kecil. Namun jarak adalah sebuah jurang pemisah
selama ini. Aku yang tinggal di Semarang Jawa Tengah, sedangkan kakakku Fery di
Surabaya. Selain itu pertemuan yang sudah sangat lama itu membuat kami nggak
akrab satu sama lain.
***
Memang
tak ada yang bisa menggantikan sejuknya udara puncak. Ku pejamkan mata ini
sembari menghirup segarnya oksigen yang kemudian mengalir menuju paru-paruku.
Subhanallah,,,,,,, dari balik jendela kamarku inilah salah satu tempat
favoritku untuk menghilangkan segala rasa penat dan menikmati betapa indahnya
ciptaan Tuhan yang telah disediakan untuk kita. Sudah terlalu lama aku melihat
dunia luar, hingga nggak kerasa ternyata kepalaku sudah mulai pusing karena
dingin.
“
Bunga,,, ayo kamu ikut tidak? “ teriakan mama dari luar yang akhirnya mampu
membuatku beranjak dari tempat ini.
Aku
langsung turun menuju ruang tengah. Hampir trenyuh ketika aku melihat semua
sanak saudara berkumpul di ruang tengah. Ya iyalah... bener-bener sebuah
kesempatan yang sangat jarang aku temukan.
“
Maaf Ma, Bunga nggak bisa ikut jalan-jalan.” Dengan muka sedih aku harus bilang
seperti itu.
“
Loh kenapa nok? “ tanya Om Ruki
“
Lagi nggak enak badan om, jalan-jalannya kan lama. Takut nggak kuat. Hehehe “ .
“
Yakin nanti nggak nyesel? “ tanya mama sekali lagi.
Fiucchhhhhh.....
dengan helaan nafas panjang ku katakan nggak untuk sekali lagi.
But,,,,,
aku nggak perlu sedih. Because Om Ruki meminta Fery untuk tidak ikut saja dan
menemaniku, yah katanya sih takut kalau nanti ada apa-apa terhadapku. Sumpah
rasanya seperti ketiban rejeki, kalau ketiban duren gimana ya rasanya?,
hehehehehe.
Fery
nurut-nurut saja dengan perkataan Om Ruki, tak ada kalimat membantah apalagi
menolak. Ternyata ada hikmah dibalik rasa sakit di kepala yang sedang aku
derita ini.
Seharian kami hampir bersama, Fery
tak pernah membiarkanku sendiri. Kecuali hanya saat dia sedang ada perlu saja. Bahkan hal yang
paling tak terdugapun terjadi. Dia membuatkan masakan untukku yang rasanya
hmmmmmmm enak banget.
“ Mas Fery, Bunga jadi ngrepotin
mas. “ kataku dengan nada lirih.
Dia tersenyum,
lalu menghampiri dan duduk di sebelahku.
“ Bunga, kamu itu adekku. Ya
wajarlah jika semua ini aku lakukan. Kenapa kamu malah merasa nggak enak
seperti itu. “ katanya lembut.
Hanya
adek, sebuah kalimat yang benar-benar menyadarkanku dari mimpi panjang yang
selama ini tak kunjung berakhir. Hatiku terasa pilu, seperti tertusuk sebatang
lidi namun sangat menyakitkan.
***
Entah
kabar gembira atau kabar duka. Mama menelpon memberitahukan jika mereka nggak
bisa pulang malam ini. Mobil mereka mogok dan baru bisa jalan lagi besok
sehingga mereka memutuskan untuk menginap semalam di hotel.
“
Jangan khawatir, mereka pulang besok kok dek.” Suara Fery tiba-tiba
mengagetkanku.
“ Eh
iya mas, nggak apa-apa. Aku juga udah baikan kok. Cuma aku bener-bener malu
jadi ngrepotin mas Fery seharian.” Kataku lirih.
“ Loh
loh siapa bilang ngrepotin? Memangnya kamu nggak nganggep aku kakak kok bilang
seperti itu?” sebuah pertanyaan yang benar-benar membuat jantungku tak mau lagi
berdetak.
Harus
ku anggap apa engkau? Rasa ini sungguh-sungguh nyata adanya. Kasih ini bukan
sebuah garis semu yang mampu menghentikan langkahku. Aku paham akan posisiku
sebagai seorang adik bagimu, namun di
sisi lain aku juga tak mampu menepis perbuatan dosa ini. Mungkin memang bukan
sebuah perbuatan dosa, tapi ini SALAH.
“
Mas Fery nggak capek? Aku udah baikan kok. Justru rasanya aku malah pengen
keluar menikmati udara segar.” Ujarku.
Lagi-lagi
senyum itu selalu menjawab apa yang aku mau. Bahkan dengan senang hati dia mau
mengajakku keluar untuk jalan-jalan. Lalu yang ada di benakku kini, apakah dia
juga akan menunjukkan senyumnya sebagai tanda iya jika suatu ketika aku
mengatakan bahwa aku mencintainya dan memintanya untuk mencintaiku juga?.
Melewati
jalan setapak, kecil namun tak sempit. Satu persatu langkah ini terayun
beriringan bersamanya. Di balik pilu yang bersarang, mengembang sebuah senyum
yang tersimpan rapat di hatiku.
Berhubung
Fery kurang mengenal daerah ini, akhirnya aku yang memutuskan tempat yang akan
kami kunjungi. Tidak jauh, langkah kami terhenti pada sebuah taman di tengah
kota.
***
Tiada
hari tanpa melamun, mungkin sudah menjadi hoby kali ya. Fery,,, namamu tak
pernah beranjak dari otakku. Menyiksa? Pasti. Tapi aku juga tak mampu mengungkapkanya,
apalagi dengan jujur mengatakan apa yang aku rasakan.
Semakin
lama sepertinya Fery mulai merasakan keanehan pada diriku. Terbukti saat sore
hari ketika kami sama-sama sedang menikmati udara sore pada salah satu bukit di
belakang vila.
“
Jujur, akhir-akhir ini mas merasa ada yang aneh pada kamu Bunga. Kamu masih
sakit dek?” tanyanya penuh perhatian.
“ Eh,,,
eng,,,enggak mas. Memangnya aneh gimana mas?” kataku mengelak
“
lebih sering diem, tatapanmu juga sering kosong.” Ujarnya
Hatiku
meronta-ronta, menjerit karena terluka. Andai kau tahu mas apa yang aku rasakan
selama ini. Rasa yang hampir melumpuhkan jantungku, mematikan nadiku. Namun aku
juga tak mau menodai benang merah yang sudah terikat kencang di antara kita.
Kita sedarah, kita tak mungkin bersatu. Meski bisa.
Tanpa ku sadari ternyata aku sudah
tak mampu lagi membendung air mata yang selama ini sudah aku tahan agar tidak
jebol. Perlahan air mataku leleh bak lilin yang disodori api membara. Fery
semakin bingung dengan apa yang sedang terjadi padaku. Sejenak aku terdiam,
namun tanpa pikir panjang akupun menghambur ke pelukan Fery.
“ Aku tak ingin mas Fery
meninggalkanku. Aku ingin mas Fery selalu ada di sisiku”. Kataku sambil
sesenggukan.
Aku tahu Fery
semakin bingung, hingga dia tak mampu menyusun kata untuk bertanya lebih jauh
lagi padaku. Namun akhirnya kalimat darinya pun keluar lagi.
“ kamu ngomog apa sih dek? Mas di
sini kok.” Ucapnya.
“ Biarkan aku puas memelukmu untuk
saat ini mas.” Kataku
Fery
mengencangkan pelukannya. Hangat, nyaman.
Aku
memang belum mampu untuk jujur kepadanya, aku pun tahu Fery masih menyimpan
kebingungan dalam hatinya. Namun sepertinya dia tak mau mengusikku dengan
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan membuatku semakin sedih.
***
Pagipun tiba. Mentari dengan setianya
memacarkan kehangatan setelah malam menebar hembusan hawa dingin. Pagi ini
keluarga besarku sudah kembali ke vila. Vila yang mulanya sepi kini rame lagi
dengan jerit dan tawa keluargaku, terutama si tuyul-tuyul kecil yang selalu
mengundang tawa karena tingkah lucu mereka. Senyumku kembali mengembang, nggak
lucu dong aku terlihat muram ditengah-tengah kehangatan mereka. Ntar malah
ditanya aneh-aneh lagi, kan bingung mau jawab apa ntar. Namun di sudut lain ku
temukan tatapan beda dari Fery, sudah bisa ku tebak. Dia pasti masih penasaran
dengan apa yang terjadi padaku kemaren.
“ Bunga,,, “ Suara itu tiba-tiba
mengagetkanku dari lamunan, sejak tadi aku memang sudah melamun di teras rumah.
“ Mas Fery,,,” kataku
“ Akhir-akhir ini aku perhatiin kamu
sering ngelamun dek, kemaren juga tiba-tiba nangis. Kamu kenapa? Adakah masalah
yang sebenarnya ingin kamu bagi?” tanya Fery.
Adakah masalah yang sebenarnya
ingin kamu bagi?. Jleg,,, jantungku serasa berhenti terlindas kekagetan
dari pertanyaan Mas Fery. Tentu saja ada yang ingin ku bagi, tapi aku tak
sanggup untuk mengatakannya. Kata-kata itu serasa tertahan di tenggorokanku.
Aku tak mau kehilangan kamu Mas Fery. Aku tak mau kamu menjauhiku.
“ Aku mimpi buruk tentang Mas Fery,
makanya kemaren aku nangis minta peluk Mas Fery, dan bilang nggak mau
kehilangan Mas Fery. Bunga sayang sama Mas Fery. Bunga nggak mau kehilangan
mas.” Kataku.
Dengan segera Mas Fery meraih
tubuhku, dan menarik ke dalam pelukannya.
“ Takkan terjadi apa-apa pada mas
dek, mas juga sayang Bunga. Mas juga nggak mau berpisah dari Bunga.” Kata Mas
Fery dengan lembut.
Andai mas,
andai aku dapat mengatakan semuanya padamu apa yang sebenarnya terjadi.
***
Seminggu sudah
kami menikmati liburan bersama ini. Tak terasa sekali bila di rasa-rasakan. Yah
itu tandanya aku akan berpisah dengan Fery. Perjalanan pulang aku lebih memilih
naik mobil Om Ruki, hehe agar aku bisa dekat sama Fery.MODUS
Sehari semalam perjalanan tersebut,
aku duduk di sebelah Fery. Dengan erat Fery menggenggam tanganku.
“ Kita pasti bakal lama nggak ketemu
ya dek”. Kata Mas Fery.
Aku menoleh dan
tersenyum padanya. Ku tatap lekat-lekat mata itu. Damai dan menyejukkan.
Kepalaku ku sandarkan di pundaknya. Yang membuatku bahagia adalah, dia
membiarkanku melakukan hal tersebut. Justru malah tangannya ikut memeluk
kepalaku.
Oh Tuhan,,, ingin rasanya ku
hentikan waktu saat ini juga. Agar aku bisa menikmati saat-saat seperti ini
untuk selamanya.
Sehari
semalam ternyata bukan waktu yang lama. Detik-detik waktu terasa singkat
berdentang. Tak terasa ternyata mobil Om
Ruki sudah parkir di depan rumah. Hanya keluarga Om Ruki yang ikut mengantarkan
ke rumah dan itupun hanya sebentar mereka melepas lelah, hingga akhirnya Om
Ruki memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Surabaya.
Sedih?
Sudah pasti.
***
Sore itu aku
mendapat kabar bahwa Fery mengalami kecelakaan. Dan naasnya kecelakan tersebut
telah merenggut nyawanya. Air mataku sudah tak mampu lagi ku bendung. Ia leleh
bersama runtuhnya hatiku.
Tuhan,,, kenapa Kau ambil
Fery..???? Jika tak Kau ijinkan aku bersamanya, ku mohon jangan begini caranya.
Bangunkan aku dari mimpi ini. Aku yakin ini pasti hanya mimpi. Aku rela harus
mengubur dalam-dalam perasaan ini, dari pada aku harus menyaksikan raganya yang
di kubur. Aku tak mau kehilangan dia Tuhan.
Sore itu juga aku sekeluarga
memutuskan langsung berangkat ke Surabaya. Dalam perjalanan perasaaku sudah
berkecamuk. Pikiranku entah melayang kemana. Dari balik jendela mobil ku tatap
langit-langit berbalut senja. Tiba-tiba saja wajah Fery muncul di antara
burung-burung yang sedang beterbangan. Wajahnya tersenyum padaku dan
seolah-olah ingin berkata,,, Jangan sedih,,,Mas Fery sayang Bunga selalu,,,
Aku tersentak dari lamunan, saat
mobil papa tiba-tiba berhenti. Bukan masalah serius. Mobil melaju lagi setelah
beberapa menit kemudian. Sepertiya khayalanku mulai mengusik lagi.
Seharian aku duduk di dalam mobil
karena perjalanan ke sana memang sangat jauh. Hingga akhirya kamipun sampai di
rumah Fery. Suasana duka sangatlah terasa. Fery adalah anak pertama Om Ruki
dari dua bersaudara. Sedangkan Riky adik Fery masih kecil. Aku hanya mampu
menahan air mata meskipun sesekali bendungan itu tetap jebol.
***
Pukul 09.00 acara pemakaman
berlangsung. Aku hanya mampu terduduk lemas di sebelah liang lahat tempat
peristirahatan terakhir Fery. Mama Fery sampai tak kuasa melihat tubuh anaknya
di masukkan ke dalamnya hingga akhirnya pingsan. Air mataku tak henti-hentinya
menetes. Oh Tuhan kenapa harus dengan cara seperti ini Kau pisahkan aku
darinya.
Malam harinya ada acara tahlilan di
Rumah Fery. Tante menyodorkan sepucuk surat terbungkus amplop berwarna pink
yang sangat cantik. Aku membacanya di loteng lantai dua rumah Fery.
Sudah ku baca semua yang tergores
dalam diary kesayanganmu. Bunga,,, betapa bodohnya kakakmu ini yang tidak
pernah menyadari atas apa yang telah terjadi. Maafkan aku yang selama ini sudah
menyakitimu. Aku memang bukan seorang kakak yang baik untukmu.
Kini ku baru sadar, kenapa kamu sering murung. Kamu pasti tersiksa
dengan adanya diriku di sisimu waktu itu. Kini aku baru sadar, kenapa saat itu kamu menuangkan
semua air matamu dalam pelukanku, kini ku sadar kenapa kamu tak mau kehilanganku.
Ternyata ada perasaan cinta dalam hatimu.
Bunga buka berarti aku tak mampu mencintaimu. Aku mencintaimu
Bunga. Aku mencintaimu sebagai seorang adekku. Aku juga tak mau berpisah
denganmu karena aku sayang kepadamu dek. Aku tak pernah menyalahkanmu, meski
Tuhan memberitahuku lewat cara seperti ini, tak secara langsung dari bibirmu.
Bunga, terima kasih atas perasaan lebih yang telah kau berikan
kepadaku. Namun maaf, aku tak mampu membalas apa yang sudah kamu berikan padaku
tersebut. Sampai kapanpu apa yang kamu inginkan tidak akan pernah terjadi. Kita
pasti akan selalu bersama Bunga sayang. Namun tetap dalam suasana seperti
semula. Aku adalah kakakmu, dan kau adalah adikku. Mas Fery sayang sekali sama
Bunga J
Aku
kaget karena baru menyadari bahwa diaryku tidak ada. Ternyata sudah sampai ke
tangan Fery. Oh God... Sekencang mungkin aku menangis. Mengeluarkan segala pilu
yang selama ini aku tahan. Namun mataku tiba-tiba terhenti pada sebuah benda
yang berkilau memancarkan cahaya di atas langit. Sebuah kejora yang sinarnya
sagatlah kuat memancar. Lagi-lagi wajah Fery sekilas muncul di atas langit
sana. Tepat pada titik dimana bintang itu bersinar. Dia tersenyum, sepertinya
dia sangat bahagia.
Mas Fery, sepertinya kau sudah
bahagia di Surga sana. Aku janji aku tak akan bersedih lagi. Terima kasih,
lewat kejora itu aku akan selalu tahu bahwa kau masih ada di dekatku meski
ragamu sudah tak berada di sisiku lagi. Kamu adalah kakak yang terbaik yang
pernah aku miliki selama ini.
Tanpa ku sadari ternyata sedari tadi
ada sosok yang selalu mengawasiku. Teman Fery.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar