Tetap
terasa jauh, yah itulah yang sering Almira rasakan meski sang pujaan hati
berada di dekat ia sekalipun. Sudah lama ia menahan rasa yang sering kali
membunuh hatinya itu. Sejak kelas VII SMP hingga sekarang ia berhasil
menyembunyikan rasa yang terus menusuk hatinya. Meski waktu telah berjalan dari
enam tahun yang lalu namun rasa itu tak kunjung pudar.
Kini
Almira telah melanjutkan studinya ke sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Bogor.
Ia mengambil jurusan Teknologi Industri Pertanian, sebuah jurusan yang ia
harapkan bisa menjadi tanggung jawabnya sehingga ia tidak akan merasa salah
karena memilih jurusan tersebut. Hingga beberapa tahun telah berlalu sampai
kini ia sudah dapat menyandang gelar sarjananya. Sejak ia kuliyah, ia memang
sudah tidak pernah lagi bertemu dengan Azka si pujaan hatinya. Bahkan Almira
tidak tahu kini ia berada di mana. namun tetap ia takkan mampu melupakan Azka.
Entah
apa yang Almira pikirkan. Lulus kuliyah bukannya mencari pekerjaan atau
melanjutkan study lagi ke jenjang magister, ia malah memutuskan untuk pulang ke
desa tempat neneknya dan hidupnya waktu ia masih kecil dan menetap di sana.
Orang tuanya sempat menentang, namun apa daya. Watak keras Almira tak akan
mampu mengalahkan segala bentuk larangan dari orang tuanya tersebut.
Tidak
akan tahu jika belum bertanya, andai orang tua Almira tahu apa yang akan ia
lakukan jika berada di sana. Sejak kcil ia sudah hidup bersama nenek
tercintanya tersebut. Ia dititipkan karena orang tuanya terlalu sibuk bekerja
di Bekasi. Hingga ia kelas VI SD baru diambil oleh kedua orang tuanya tersebut.
Ia ingin sekali mengembangkan kebun yang dimiliki neneknya. Kebun itu cukup
luas, karena di desa nenek merupakan salah satu orang yang terkenal paling kaya
di sana.
“Udara di sini tidak pernah berubah,
tetap sejuk dan menenangkan jiwa”. Gumamnya.
“ Almira bukan?.”
Tampak seorang pemuda berusaha menyapaku meski sangat terlihat ia sedikit
malu-malu untuk mengatakannya.
Almira berusaha
mengingat-ngingat wajah pemuda tersebut, hingga sang pemuda menyebutkan namanya
dan akhirnya dapat menarik kembali ingatan Almira.
“Ahza?” tanya Almira senang.
Pemuda itu
mengangguk dengan wajah yang sumpringah, bahagia karena akhirnya gadis yang
berada di depannya tersebut mampu mengingatnya. Ahza adalah teman kecil Almira sewaktu
SD. Mereka berdua sangat akrab sekali. Bahkan Ahza selalu saja melindungi Almira,
kapanpun dan dimanapun ia selalu ada untuk Almira.
“ Kamu cantik sekali Almira, sudah
lama kita tidak bertemu.” Kata pmuda tersebut.
“ kamu juga, lebih ganteng. Hehehhe”
sahut Almira.
Sejak dulu Ahza
memang sudah terlihat bahwa kelak jika dewasa ia akan tumbuh menjadi laki-laki
tampan nan gagah. Ia merupakan anak orang ternama di desa. Meski ia seorang
anak kepala desa namun ia tak pernah memilih-milih dalam berteman. Dan ternyata
ia juga seorang sarjana pertanian.
Beberapa bulan berlalu, dan hubungan
mereka pun menjadi semakin dekat. Suatu ketika, saat mereka sedang berada pada
sebuah lahan hijau di belakang rumah nenek Almira, tiba-tiba Ahza mengungkapkan
seuntai kalimat yang tak diduga-duga oleh Almira.
“ Sungguh rinai
hujan pun takkan mampu untuk melunturkannya.” Ungkap Ahza.
Almira hanya
termangu tak mampu berkata apa lagi. Ia bingung harus menjawab apa. Mungkinkah
hatinya mampu beralih pada pemuda tersebut. Jika tidak, mampukah ia untuk
mengatakan yang sebenarnya. Ia tak mau apa yang terjalin selama ini menjadi
hancur hanya karena sebuah rasa yang sebenarnya juga tidak mampu untuk
disalahkan.
“ beri aku waktu untuk
memikirkannya, ku mohon.” Pinta Almira.
Ahza bukanlah
seorang pemuda yang mudah tersinggung. Dengan senyum tulusnya ia pun mengatakan iya untuk Almira.
Hujan tak jua berhenti, sudah berapa
iya bernyanyi?. Di balik jendela mungil nampak Almira dengan kegundahannya
melamun seorang diri. Tiba-tiba nenek datang menghampirinya dari arah belakang.
“ Kamu kenapa nduk?” tanya nenek
prihatin melihat cucunya terus melamun.
“ Almira bingung eyang.” Kata Almira
lirih.
Almira
menceritakan semua yang terjadi pada dirinya. Dari Azka si pujaan hati yang
entah saat ini berada dimana hingga peristiwa kemarin saat Ahza mengungkapkan
perasaan kepadanya. Nenek memang orang yang sangat arif dan bijaksana. Dengan
senyum tipis yang terulas dari bibirnya ia berkata:
“Nduk, semua sudah
ada jatahnya masing-masing. Apa kamu yakin dengan kamu menunggu Azka hingga
saat ini?. Apa kamu tidak pernah berpikir bahwa mungkinkah di sana ia
memikirkanmu?. Dan apa selama ini kamu tidak merasa rugi telah menunggunya
untuk sekian lama?.” Tanya nenek.
Aku hanya
tertunfuk lesu mendengarkan ucapan nenek barusan, dan nenek melanjutkan
ucapannya.
“ Ahza pemuda yang baik nduk. Dan
sepertinya ia juga tulus mengungkapkan perasaannya itu. Namun semua kembali
pada kamu, kamu yang menjalani. Nenek juga ndak bisa melarang kamu untuk
mempertahankan perasaan kamu itu.” Tegas nenek.
Nenek benar,
Almira merasa ia sudah terlalu dibodohi oleh perasaannya. Bertahun-tahun
berlalu tanpa cinta dan kepastian. Ia memutuskan untuk mencoba membuka hatinya
untuk Ahza. Meski ia belum mengatakan iya pada pemuda tersebut.
Pulang dari kebun, sesuatu yang tak
terduga pun terjadi. Alangkah kagetnya Almira ketika mendapati seorang
laki-laki dewasa seumurannya duduk di ruang tengah rumah neneknya. Tidak salah
lagi. Pemuda itu adalah Azka. Mengapa ia bisa sampai di sini?, dan apapula
urusannya ia kemari. Pikir Almira.
“Azka? Kamu ok bisa sampai di
sini?.” Tanya Almira sedikit bingung.
Sebelumnya
mereka memang tidak akrab, namun mereka mengenal satu sama lain karena dulu
pernah satu organisasi di OSIS.
“Aku mencarimu Almira.” Kata Azka.
“Mencariku untuk apa?” tanya Almira
lagi.
“Aku mencintaimu Almira.” Sahut Azka
hingga membuat Almira tak percaya.
Tuhan,,,
perasaan Almira semakin berkecamuk. Di saat ia sudah mencoba melupakan Azka dan
mau membuka hatinya untuk Ahza, kenapa Azka malah kembali dengan perasaan yang
Almira harapkan dulu. Dulu, ya dulu. Kini ia sudah mulai melupakannya, tapi
kenapa malah ia kembali. Almira benar-benar tak menyangka, ternyata Azka juga
memendam perasaan yang sama untuknya. Siapa yang akan ia pilih?. Sedangkan
perasaanya terhadap Ahza sudah mulai ia berikan.
Dari balik pintu depan sudah berdiri
Ahza sedang memperhatikan mereka. Ketika Almira menyadari hal tersebut, ia
berusaha mengundang dan mengajaknya untuk bergabung. Merasa tak enak Ahza
memutuskan untuk pamit pulang. Almira bnar-benar merasa bersalah kepada Ahza,
ia tidak tahu apa-apa tentang apa yang telah terjadi. Terhadap Azka saja ia
juga tidak bisa menjawab. Berhubung hari sudah gelap, Almira meminta Azka untuk
menginap saja di rumah neneknya tersebut. Dan Azkapun mengiyakan permintaan
orang yang dikasihaninya itu. Paginya Azka pulang dengan ketidakpastian. Namun
Almira janji akan segera memberi jawaban untuk Azka. Ahza, bagaimana dengan
Ahza jika ia menerima Azka. Lagi-lagi bayangan tersebut mengusik pikiran
Almira.
Azka meminta Almira untuk pulang ke
Bekasi. Berhubung ia juga memiliki kepentingan di sana maka ia memutuskan
berangkat pagi harinya. Tetapi Almira elum sempat ijin kepada Ahza karena
setelah peristiwa tersebut Ahza belum pernah ke rumahnya lagi. Justru saat Ahza
ingin menemui Almira, ia malah sudah tidak ada di desa.
Lima bulan berlalu begitu saja tanpa
terasa. Almira elum juga kemali ke desa. Mungkinkah Almira memutuskan untuk
pergi saja dari desa ini? Mungkinkah ia sudah bahagia dengan laki-laki
tersebut?. Pikiran Ahza dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak
pasti itu. Akan tetapi entah mengapa hatinya terus berkata bahwa Almira pasti
akan kembali.
Sore ini Ahza mengadakan pelatihan
bagaimana cara mengadakan pertanian organik di desanya. Ia menganggap keadaan
lahan desanya sangat mendukung sekali untuk menanamkan sistem tersebut. Selesai
melakukan pelatihan, Ahza tidak langsung pulang. Tiba-tiba ia ingin sekali
menikmati udara sore yang sejuk. Walau di langit sudah menggantung gumpalan
awan hitam namun hal tersebut tak mampu untuk mencegah keinginannya tersebut.
Ia ingin mengulang kenangan-kenangan saat bersama Almira beberapa ulan yang
lalu.
“Almira, aku
sangat merindukanmu. Apa kabar kamu di sana, andai saat ini kamu erada di sini
di sampingku.” Gumamnya dalam hati.
Air mata mulai
menghangatkan pipinya, tak terasa ia sampai meneteskan butiran-butiran air
tersebut. Dengan segera ia menyeka air mata tersebut. Tak boleh ada orang yang
tau kalau sebenarnya saat ini hatinya sedang menangis. Namun ia juga tak mampu
berbuat apa-apa, karena semua itu adalahkeputusan Almira. Mungkin sebagai
lelaki ia terlihat sangat lemah. Keputusannya untuk diam adalah karena ia tak
mau memaksakan kehendaknya, ia menghargai segala keputusan yang telah diambil
oleh Almira.
Tetes hujan mulai membasahi baju
yang ia kenakan. Ia memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Lima langkah ia
erjalan, tia-tia ada yang menyentuh dan mulai menggenggam tangannya dari
belakang. Saat ia berbalik, didapatinya seulas senyum yang sudah berbulan-bulan
ia rindukan.
“Almira.” Katanya sumpringah.
“Aku di sini Ahza, untuk kamu.” Kata
Almira.
“lalu Azka?” tanya Ahza.
Almira
menggeleng tersenyum. Kini sepenuhnya hatinya telah di serahkan kepada Ahza.
Lelaki yang mampu mengajari cinta yang sesungguhnya. Lima bulan jalan dengan
Azka tak membuatnya tenang, ternyata pikirannya sudah beralih dipenuhi oleh
Ahza. Ahza menggenggam erat tangan Almira. Bersama dengan derasnya rinai hujan,
kini cinta mereka telah bersatu.
Hujan,,,
kini kau menjadi saksi betapa indahnya cinta kami bersatu
Hujan,,, jangan biarkan perasaan kami
hanyalah sebuah nafsu belaka
Dalam tiap tetesmu tersimpan sebuah
rasa yang tak ternilai
Untuk dia,,, pemuda yang sudah mampu
merebut hatiku dari ketidakpastian
Hujan,,, dalam rinaimu yang telah
tersimpan sebuah kenangan
Disaat tanganku menggenggam tangannya
Disaat tangannya menggenggam tanganku
Dan disaat hatinya bersatu dengan hatiku
Kau adalah saksi,,, ku tunggu selalu keteduhanmu
Dalam hujan cinta kita bersatu