Oleh
Bunga Zahrana
Kala itu aku masih
bermimpi, bermimpi dapat hidup bahagia bersamamu. Aku tak pernah tahu sejak
kapan cinta ini mulai tumbuh merayu-rayu untuk selalu merindumu. Siang malam
bayangmu tak pernah mau pergi dari ingatanku. Kadang aku berpikir, sudah
sedewasa ini kenapa masih saja aku seperti anak SMP yang baru merasakan jatuh
cinta. Atau memang sepert ini orang yang sedang jatuh cinta? Tak mempedulikan
usia.
Reihan,,, kenapa namamu
tak mau pergi dari ingatanku? Kau tau betapa tersiksanya aku karena namamu tak
mau pergi dari ruang kecil ini. Pertemuan itu telah menyisakan sebuah bayangan
yang seakan-akan betah menghantuiku. Usia kami tak beda jauh, mungkin hanya
beberapa bulan. Akan tetapi dia lebih dahulu belajar di bangku sekolah setahun
di atasku. Kami memang belum pernah bertemu lagi kecuali beberapa tahun lalu
saat kami sama-sama duduk di bangku SD. Tapi pagi itu sepertinya Tuhan punya
sebuah rencana sehingga mempertemukan kita dalam sebuah kesempatan. Tuhan, aku
tak dapat memungkiri jika senyumnya pagi itu sangat membekas di ingatanku.
Mungkinkah aku mencintainya? Atau ini hanya sebuah nafsu belaka yang sedang
menguasaiku?.
Di saat aku masih
bertanya-tanya tentang perasaan apa yang sedang menjalariku ini, aku harus mengetahui
bahwa dia sudah memiliki seorang kekasih yang katanya sangat dia cintai. Aku
tak tahu harus merasa sedih atau bahagia, karena nyatanya air mataku lah yang
menjawabnya.
“ Sudahlah dik, mungkin
dia tak baik untukmu. Allah lebih tahu mana yang pantas untukmu”. Lagi-lagi
kata-kata yunda yang selalu membuatku sadar, bahwa dia bukan apa-apa buatku.
Mungkin benar apa yang
dikatakan yunda, dia bahkan bukan siapa-siapaku. Kenapa aku harus bersedih
mendengar berita itu, tapi aku juga tak mampu memungkiri kalau aku ingin
menangis. Tuhan maafkan daku, tapi cinta ini takkan melebihi cintaku
terhadapMu.
***
Aku adalah seorang
mahasiswi jurusan bahasa indonesia di perguruan tinggi terkemuka di Semarang. Reihan,,, kenapa aku tak mampu melupakanmu?.
Sepulang kuliyah aku sengaja menyempatkan diri duduk-duduk sejenak di tepi
pantai. Senja kala ini terasa sejuk ku rasakan. Semburat merah orange nya
mengundang takjub bagi siapa saja yang menikmatinya. Semilir angin tak kalah
seru mengajakku semakin hanyut dalam suasana sore ini. Aku semakin terbawa
dalam buaian lembut perpaudan antara semilir angin dan keindahan pantai Marina
ketika sore hari. Meskipun pantai ini tak seindah pantai-pantai di pantai
selatan, namun aku tetap suka berkunjung ke sini. Terutama ketika sedang merasa
panat setelah pulang kuliyah. Jarak antara kampus dengan pantai sangatlah tidak
dekat, bahkan dapat dikatakan jauh. Namun bukan aku namanya kalau tidak nekat.
Aku selalu bisa melakukan hal-hal yang menurut orang lain aneh. Tetapi bagiku,
selama aku bahagia kenapa tidak???.
***
Aku semakin larut dalam
senja, sehingga kakiku saja tak ingin untuk beranjak dari tempat ini. Pikiranku
semakin tenggelam, membuatku tak beranjak-beranjak dari bibir pantai Marina.
Hingga sebuah getar hp tiba-tiba mengusik keasyikanku.
Din,
segera ke RS. Karyadi ya,,, yunda masuk UGD.
Sebuah pesan singkat dari Mbak Lili
membuatku sedikit panik. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju motor, dan
melaju dengan kecepatan ekstra menuju rumh sakit.
Sesampai
di sana telah ku dapati yunda yang terbaring di UGD antri untuk segera
ditangani. Betapa menyedihkannya keadaan yunda saat itu. Ku hingga tak berani
berkata-kata. Andai sakit itu dapat dibagi, aku rela ikut merasakannya. Agar
yunda tak merasakan sakit yang separah ini. Dia terus saja memegangi perutnya,
meski aku tahu sebenarnya yunda sudah setengah sadar. Aku hanya bisa
menungguinya dari samping sambil membisikkan kata sabar dan meminta yunda untuk
selalu istighfar.
Setelah beberapa menit
menunggu, akhirnya yunda ditangani juga oleh pihak medis. Selesai ditangani
yunda dipindah ke sebuah ruangan. Di ruangan terdapat 4 tempat tidur dimana
hanya baru satu tempat tidur yang ditiduri oleh satu pasien. Aku memutuskan
untuk menunggui yunda malam ini bersama Mbak Lili. Sedangkan yang lain kami
minta untuk pulang, dan ada yang mengambilkan baju ganti untuk kami mengingat
kondisi sudah malam.
Tak lama datang
beberapa lelaki menjenguk yunda. Sepertinya mereka adalah teman-teman satu
jurusan Yunda.
“ bagaimana keadaan
Sinta?” tanya salah seorang dari mereka, yang baru aku tahu namanya adalah
Edwin.
“ sudah ditangani oleh
dokter, hasil lab baru keluar dua hari lagi. Dan sekarang alhamdulillah yunda
sudah bisa istirahat.” Jawabku.
Mereka juga memutuskan
untuk menunggui Yunda. Alhamdulillah, setidaknya di sini kami tidak terlalu
kesepian karena yang menunggui hanya kami berdua. Mas Edwin memberikan kami
makanan.
“ nih makanan, lumayan
bisa ngganjel perut kalian. Sepertinya kalian sedang kelaparan.” Kata Edwin
sambil tersenyum.
“ makasih” kataku.
Berbicara tentang
senyum. Kau tahu??? Ada yang beda dengan senyum Edwin. Aku tak tahu itu apa.
Awalnya aku hanya mengira kalau senyumnya manis, bahkan sangat manis. Namun
lama-lama aku baru sadar, ada sesuatu yang berbeda. Senyum yang belum pernah
aku dapatkan dari lelaki manapun. Boleh dibilang Edwin itu termasuk lelaki
dengan paras yang lumayan menarik. Wajahnya ganteng, senyumnya manis dengan
berhias lesung pipit di kedua pipinya.
***
Merasa penat dan gerah,
aku memutuskan untuk keluar sebentar dari kamar.
“ Mbak, Dinda keluar
dulu ya. Aku sedikit sesak di sini. Ya jujur saja sebenarnya aku kurang suka
dengan suasana rumah sakit.hehehe” kataku nyengir.
“ iya Din, biar mbak
yang jaga yunda. Lagian tuh banyak temen-temen yunda sama mbak kok yang iku
jaga” kata Mbak Lili.
Mbak Lili adalah teman sekelas yunda,
sekaligus teman kos kami. Hubungan kami sangat dekat, bahkan sudah seperti
saudara sendiri.
Melihatku
keluar Edwin langsung bertanya, dari beberapa teman Mbak Lili tersebut memang
hanya Edwin yang paling perhatian.
“
Kamu mau kemana Din?” tanya Edwin.
“
hehe keluar sebentar mas, nyari udara.” Jawabku.
“
berani sendiri?” tanyanya lagi.
“
Loh, emang kenapa mas?” tanyaku heran, aku sebenarnya tahu apa yang dimaksud
Edwin, tetapi berpura-pura aja. Hehehe
“
Sini aku temenin, sekalian nanti nyari minum buat yang ada di sini.” Kata
Edwin.
Aku hanya mengangkat bahu dan tersenyum,
menandakan mengiyakan permintaan Edwin.
Empat hari dirawat di
rumah sakit, akhirnya yunda sudah diperbolehkan untuk pulang. Senyum itu aku
temukan kembali, senyum yang beberapa hari lalu sempat hilang direnggut rasa
sakit yang diderita yunda. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga. Dia sudah
menjadi bagian dari hidupku, seperti itulah arti penting dia dalam hidupku.
***
Senja masih sama aku
rasakan. Namun kali ini berbeda, Reihan mengajakku bertemu di Pantai. Sore ini,
aku menikmati senja tak hanya sendiri. Saat ini, aku menikmati senja bersama
orang yang selama ini sangat aku inginkan. Inginkan??? Mungkinkah sekarang
keinginan itu masih ada?. Kenapa dengan hatiku? Seperti ada gejolak lain.
Semburat merah orange masih setia mewarnai senja di atas sana, sepertinya ia
tak kenal lelah dan bosan. Tetapi cintaku untuk Reihan, mungkinkah ia sudah
lelah? Sehingga derunya sudah tak sekencang dulu.
“ Aku putus Din.” Ucap
Reihan membuka pembicaraan sore ini.
Reihan putus? Haruskah aku bahagia?
Terlihat sekali kesedihan tergurat di wajahnya. Sedalam itukah cinta Reihan
kepada sang pujaan hatinya tersebut. Ah,,, beruntung sekali wanita itu. Tetapi
aku sama sekali tak merasakan bahagia. Aku justru merasa kasihan dengan keadaan
Reihan saat ini.
Tunggu
dulu, terus kenapa Reihan mengajakku bertemu di sini?.
“
Aku ikut sedih mas,,,” kataku prihatin.
Reihan hanya mengangguk pelan, sambil
sesekali menatapku.
“
lalu kenapa mas mengajakku bertemu di sini dan menceritakan hal ini kepadaku
mas?” tanyaku.
Diam,,, sejenak dia terdiam. Sepertinya
dia sedang berpikir.
“
Kau adalah orang yang selama ini peduli terhadapku Din. Aku hanya ingin
berbagi, ya intinya curhatlah pada kamu. Kamu nggak keberatankan?” jawabnya.
“
Tentu tidak mas, aku malah sangat bahagia sudah mas percaya untuk berbagi kisah
mas tersebut.” Kataku.
Hah,,, jujur saja tadi aku sangat
berharap. Berharap apa? Tentu kalian pahamlah. Berharap Reihan bisa berpaling
padaku. Hmmm jahat banget ya aku?.
Cinta terkadang memang bisa membuat
pelakunya tega melakukan apapun, termasuk untuk hal menyakiti atau bahkan
curang. Tetapi aku tidak, selama ini aku sangat bersabar menunggu balas dari
Reihan. Mungkin ini memang kesempatan emas untukku. Tapi aku tak tega, semoga
dengan dia bercerita terhadapku bebannya bisa berkurang.
“ Mas,,, percayalah
Tuhan punya rencana yang indah untuk mas. Dia pasti sudah mempersiapkan
seseorang yang jauh lebih baik untuk mas.” Aku kembali membuka pembicaraan.
“ Kamu benar Din.”
Jawabnya pelan.
Sekali lagi pandangannya tertuju ke
depan. Kosong. Reihan,,, apa yang
membuatmu secinta ini terhadapnya? Apakah aku bisa menjadi wanita tersebut?
Kenapa dulu kau lebih dulu bertemu dengannya?. Pertanyaan-pertanyaan itu
hanya bisa aku lontarkan di dalam hati. Berharap sesuatu yang tak mungkin
terjadi. Ah,,, mungkin aku terlalu berharap.
***
Sore ini aku diajak
yunda ke kampus bertemu dengan teman-teman sekelasnya. Empat hari dirawat di
rumah sakit membuat dia ketinggalan banyak materi, sehingga dia ingin meminjam
catatan dan menanyakan tugas apa saja yang sudah diberikan dosen. Otomatis di
sana juga ada Edwin.
Bertemu dengannya
kembali. Ku pikir keganjilan dulu hanya perasaan aneh sesaat. Tetapi ternyata
salah. Ada desiran yang berbeda yang mengaliri tubuhku saat ini. Aku mulai
gugup saat langkah kakinya semakin mendekat ke arah yunda dan aku. Dari
kejauhan bau aroma tubuh Edwin sudah menusuk-nusuk ke hidungku. Aroma wangi
khas Edwin, duh Tuhan... Aroma parfumnya saja aku sampai hafal.
“ Udah sehat betul
belum Sin” tanya Edwin
“ Alhamdulillah Win” jawab
yunda
“ Eh,,, Dinda juga
ikut. Apa kabar Din?”
Aku terkekeh, tiba-tiba merasa gugup.
Jantungku semakin cepat berdetak. Rasanya pengen sekali lari dari sana. Tapi
apa alasanku lari? Cuma karena ingin menutupi kegugupanku? Ah semoga Edwin
tidak menyadari kegugupanku.
“
Alhamdulillah sae Mas Edwin.” Jawabku. Akhirnya kata itu bisa keluar juga meski
harus ku paksa-paksa.
“
Yunda, Dinda pamit sebentar ya mau ke MIPA. Nanti kalau udah selesai sms aja,
aku ke sini lagi”. Yunda hanya menanggapi dengan senyuman dan anggukan.
“
Loh Din, di sini aja. Kok malah ninggalin aku.” Tanya Edwin.
“
Hehe Cuma bentar mas, lagi ada perlu.”
“
Sin, Dina cantik ya? Aku boleh nggak deketin adik kamu itu. Boleh ya? Janji deh
bakal bahagiain dia.” Kata Edwin setelah aku pergi.
***
Sepulang dari kampus
yunda menceritakan kepadaku akan hal tersebut.
“ Terus Yunda jawab
apa?” tanyaku bersemangat.
Tiba-tiba yunda mengamati wajahku.
Sepertinya dia sudah mulai curiga.
“
Ada dengan ekspresimu Dinda? Sepertinya kau riang sekali mendengarkan itu?”
“
Aku kenapa yunda?” tanyaku
“
Kamu juga suka sama Edwin nduk?”
Lama,,, tak ada suara. Sunyi. Hingga
akhirnya,,,,
“
Aku juga nggak tahu yunda. Yunda juga tahu kan, aku sangat cinta Reihan. Apa
mungkin secepat ini aku berpindah ke hati lain? Aku juga belum cerita ya sama
yunda. Reihan putus dari pacarnya yun. Dan orang pertama yang ia beri tahu
adalah aku.”
“
kapan Reihan putus?” tanya yunda
“
sudah satu minggu. Wajahnya terlihat sekali sedang kehilangan yunda. Hatiku
ikut hancur melihat betapa dia mencintai kekasihnya itu. Sepertinya dia
benar-benar sangat mencintai mantan kekasihnya itu yunda.”
“
Sudahlah dik, lupakan saja Reihan. Jujur saja mbak nggak suka kamu dekat dengan
Reihan.” Kata yunda
“
Kenapa yunda? Dia sangat baik.”
“
Enggak tahu kenapa. Mbak rasa dia nggak baik buat kamu.”
Ada yang mengganjal di hatiku. Kenapa
yunda berkata seperti itu? Reihan sangat baik, tampan, kalem, sholih pula,
terus apa yang diragukan oleh yunda.
“
yunda lebih suka kalau kamu sama Edwin saja Dinda. Dia baik, yunda sudah
mengenalnya dengan sangat baik.”
“
Edwin memang baik yunda, tetapi yunda kan tahu siapa yang ada di hatiku”.
Perkataan
yunda terus saja terngiang-ngiang di kepalaku. Aku sangat mencintai Reihan,
tetapi kenapa yunda sangat tidak setuju dengan perasaanku tersebut?.
***
Ada
yang berbeda dengan pemandangan sore ini di pantai. Tidak ada semburat warna
merah orange di langit, tidak ada burung-burung yang terbang di angkasa. Sore
ini langit benar-benar tertutup awan. Kepulannya menyelimuti kecantikan senja
seperti biasanya. Aku hanya bisa memainkan kakiku sembari duduk di gazebo di
pinggir pantai. Sepertinya langit mendung, ah ini mas bukan sepertinya lagi.
Langit memang benar-benar mendung, sebentar lagi juga pasti hujan akan turun.
Namun sosok yang sedari tadi aku tunggu-tunggu tak kunjung datang. Dengan sabar
ku tunggu pangeranku tersebut.
Sore
ini Reihan mengajakku bertemu di pantai. Katanya ada perihal penting yang ingin
dia sampaikan untukku. Sebenarnya aku sedikit gugup menghadapi pertemuan sore
ini. Tapi rasa penasaranku mengalahkan degup jantung yang semakin kencang ini. Oh Dinda,,, kau tak boleh GR dulu, mungkin
saja ada hal lain yang ingin dia bicarakan.
Langit
semakin gelap, sepertinya sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang. Namun
kenapa kehadirannya tak ua aku rasakan. Kenapa dia tak juga datang? Apa dia
lupa dengan pertemuan sore ini, bukankah dia sendiri yang mengajakku bertemu?.
Perasaan kecewa langsung menerkamku. Sejahat itukah kamu kepadaku Reihan? Aku
rela menunggumu di tengah hujan, aku harus menahan dingin dan angin yang siap
menerpaku.
Semakin
penasaran, akhirnya ku ambil hp di sakuku. Ada satu pesan masuk. Deg,,, pas ku
buka ternyata dari Reihan.
Reihan
Dinda,
maaf ya aku tak bisa ke sana,,, tiba-tiba Sari menelpon dan memintaku datang ke
tempatnya. Maaf banget,,, lain kali biar aku yang main ke tempatmu saja.
Sungguh aku menyesal, tapi aku juga nggak mungkin menolak permintaan Sari.
Air mataku jatuh tak
mampu ku bendung lagi. Setega inikah kau padaku Reihan. Setidak pentingkah
diriku ini untukmu. Ku kira kau sudah lupa dengan wanita yang sempat merenggut
kebahagiaanmu itu. Kau bodohi aku yang sudah buta karena cintaku.
Aku tak membalas.
Terserah, perasaanku sudah sangat hancur. Oh Tuhan,,, maafkan aku. Aku tak
pernah menangis karenaMu, tapi aku menangis sehebat ini hanya karena cintaku
kepada makhlukMu.
***
Semua kejadian bodoh
itu sudah aku lupakan. Tentu saja, aku adalah tipe orang yang mudah sekali
memaafkan kesalahan orang lain. Sebesar apapun orang itu menyakitiku. Akupun
sudah memafkan semua yang telah dilakukan Reihan terhadapku. Beribu kata maaf
dia ucapkan untukku. Namun rasa sakitku itu benar-benar membuatku sudah tak
ingin lagi bertemu dengannya.
Reihan
Din, please
maafkan aku. Aku benar-benar menyesal tlah melupakanmu waktu itu. Kau tahu apa
yang sebenarnya ingin aku katakan padamu? Aku menyayangimu Dinda. Aku ingin
menjadi kekasihmu. Tapi keadaan Sari sore itu benar-benar membutuhkan
pertolongan. Please maafkan aku.
Sudah terlambat Reihan. Mulai dari sore
itu aku sudah memutuan untuk mengubur dalam-dalam cintaku. Bukannya aku
menyerah dengan keadaan. Tapi memang benar kata yunda. Kau memang baik, tapi
kau tak baik untukku.
Semenjak
peristiwa sore itu aku memang sudah tak mau lagi bertemu dengannya. Mataku
tidak akan mampu menatap matanya lagi. Ah Reihan,,, biarkan ku kubur
dalam-dalam cintaku ini. Sudah saatnya aku mencari kebahagiaanku sendiri. Maaf,
bukannya aku egois. tapi karena aku tahu, aku nggak akan pernah benar-benar
berada dalam hatimu. Aku tak ingin berada dalam bayang-bayang sari, mantan yang
sangat kau cintai itu.
Aku
adalah apa yang kau rindu, tapi aku tahu aku bukanlah rumah bagimu. Bagimu aku
hanyalah tempat singgah sementara dari kisah lainmu. Aku tahu aku tak pernah
berada dalam hatimu, aku hanyalah pelarian sesaat ketika kamu terluka. Asal kau
tahu, aku adalah waktu yang setiap saat selalu ada untukmu. Meski aku tahu aku
akan kau tohok dengan asmaramu.
***
“ Dinda,,, dapat salam dari Edwin.”
Kata yunda.
“ Haaaaa,,, Mas Edwin?” kataku
setengah kaget
“ Ciye,,, “ kata anak-anak kos
berbarengan.
“ Ah kalian,,, Dinda kan nggak
pengen pacaran. Pengalaman kemarin sudah cukup menjadi pelajaran hidup untuk
Dinda.” Ucapku kesal
“ Hahahaha,,, bentar lagi juga pasti
jadian tuh sama Mas Edwin.” Celetuk Difa.
Aku hanya manyun menanggapi
ocehan-ocehan mereka. Seberapa keras aku membantah tetap saja aku kalah, secara
satu lawan anak se kos. Tetapi aku sangat menyayangi mereka. Mereka yang selalu
ada saat aku terpuruk seperti kemarin.
***
Weekend,
Lagi-lagi Reihan membujukku untuk bertemu. Kali ini dia rela menjemputku ke
kos. Bisa apa aku untuk menolak. Akhirnya akupun mengikuti kemanapun dia
mengajakku pergi. Di dalam perjalanan aku sudah pasrah kemanapun aku akan dia
ajak pergi. Namun siapa sangka, lagi-lagi pantai ini. Pantai Marina dan senja.
Sedangkan
di kos, ternyata Edwin juga sedang menjemputku. Astaga,,, aku lupa aku juga
punya janji dengan Edwin. Setelah diberi tahu dengan keberadaanku oleh yunda,
akhirnya dia menyusulku bersama dengan yunda.
“
Rei, bisakah kita Cuma sebentar di sini? Aku ada janji sore ini. Aku lupa
bilang kepadamu tadi.” Kataku sedikit ragu.
Dia mengernyitkan dahinya.
“
Pentingkah?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk.
“
Din, aku nggak akan lama kok. Aku cuma mau bertanya padamu. Apakah aku masih
ada di dalam hatimu?” tanya Reihan
Aku terdiam, bibirku kelu. Aku tak tahu
harus menjawab apa kepada Reihan. Rasa sakit kemarin sudah benar-benar menyadarkanku.
“
Kenapa diam saja?”
“
Rei,,, kenapa pertanyaan itu lagi. Aku sudah lelah. Aku sudah tak ingin
berurusan dengan yang namanya hati.” Jawabku ragu.
Reihan tertunduk. Senja bahkan tak
seindah biasanya. Semburat merah orange terasa hambar aku rasakan.
Sentuhan-sentuhan semilir anginpun seperti mengusikku, menggeretku mengajak
untuk segera beranjak dari tempat ini.
“
Din, aku sangat menyayangimu.”
“
Jangan bohongi perasaanmu Rei. Aku tahu yang ada di dalam hatimu hanya Sari dan
Cuma Sari. Sudahlah jangan jadikan aku pelarianmu.” Kataku.
“
Bukankah dulu kau sangat mencintaiku Din?” tanyanya sekali lagi.
Kali ini matanya benar-benar menatapku.
“
Itu dulu Rei, jangan samakan dulu dengan sekarang. Jangan lagi-lagi kau siksa
aku dengan cinta palsumu itu.” Kini aku yang menangis, aku sudah tak mampu lagi
membendung air mata yang semakin lama semakin banyak ini.
“
Aku sangat menyayangimu Dinda.” Katanya lirih.
Di sudut ke dua mata Reihan pun
tersembunyi sebulir butiran bening. Namun dia sangat lihai menyembunyikan
perasaannya. Ah,,, toh aku uga nggak tahu apa yang benar-benar ada dalam
pikirannya.
Tiba-tiba
hp ku berbunyi.
Suara Difa. Mengabarkan Edwin dan yunda
mengalami kecelakaan ketika ingin menyusulku ke pantai. Tanpa berpikir panjang,
ku tinggalkan Reihan yang sedang meratap sendirian.
“
Maaf Rei, aku pergi dulu.”
Aku kalut,,, Yunda,,, Edwin,,, dua orang
yang sangat aku cintai. Ya,, akhirnya aku mengakui bahwa hatiku sudah tertambat
pada pria sederhana tersebut. Kami jadi sering sms-an, bbm-an, bahkan
telpon-telponan. Seluruh penghuni kos juga tahu dengan kegiatan baruku itu.
Edwin selalu ada untukku.
***
Tak membutuhkan waktu lama bagiku
untuk menuju ke rumah sakit. Entah sedang beruntung atau memang waktu sedang
berpihak padaku. Aku bisa sampai ke rumah sakit dengan lancar.
Aku langsung menuju ke ruang ICU. Di
sana sudah ada beberapa anak kos dan yunda yang terduduk di kursi. Wajahnya
tersenyum setelah melihatku.
“ Yunda nggak apa-apakan?” tanyaku
sambil memeluk tubuhnya.
“ nggak apa-apa sayang.”
“ Mas Edwin gimana yunda?” tanyaku
cemas.
“ belum sadar sayang, tapi
insyaallah nggak apa-apa. Benar-benar ada keajaiban sore ini. Sayang,,, Edwin
sayang menyayangimu nduk.”
Aku
mengangguk, sambil menangis di pelukan yunda.
“ Aku sudah memutuskan untuk tidak
berhubungan lagi dengan Reihan yunda. Mungkin kalau hanya sekedar berteman aku
masih bisa menerimanya.”
Yunda
tersenyum dan kembali memelukku, erat.
“ Keluarga Mas Edwin...” panggil
dokter yang muncul dari ruang ICU.
“ Iya dok, kami keluarganya.”
“ Alhamdulillah saudara sudah sadar,
dan tak terjadi apa-apa dengan beliau. Hanya sedikikt luka di kakinya.” Kata
doker.
Tanpa meminta ijin dari dokter aku
langsung nyeloning masuk ke dalam ruang ICU. Di sana kudapati Edwin yang sedang
terbaring di atas tempat tidur pasien. Puji syukurku Tuhan,,, senyum itu masih
bisa aku nikmati. Bibirnya tersenyum melihatku berhamburan menuju ke tempat
tidurnya.
“
I Love You,,,” ucapnya
“
Mas Edwin sakit sempat-sempatnya mengatakan kalimat itu.” Celetukku
“
hahahahahahhaa”
“
loh kok malah ketawa?” kataku sedikit kesal, melihat dia tertawa padahal dia
sedang menahan sakit.
“
Boleh minta sesuatu nggak? Satu aja,,,”
“
Apa mas?, apapun pasti ku kabulkan.”
“
peluk aku dengan hatimu Dinda.”
Air mataku tumpah,,, aku mengangguk
pelan kemudian benar-benar memeluknya. Pelukan terhangat yang aku rasakan.
Bukan dari Reihan, pria yang sudah lama sangat aku cintai. Melainkan dari
Edwin, meskipun tak selama aku mengenal Reihan, tetapi Edwin benar-benar sudah
mampu membuktikan keseriusannya dalam ingin memilikiku. Ku tumpahkan semua air
mataku dalam pelukan Edwin. Dari luar yunda hanya tersenyum melihat kami
berdua.
Sakit
karena gagal cinta tak membuatku untuk merasakan indahnya cinta kembali. Ingatlah,,,
kebahagiaanmu takkan hilang hanya karena satu hati yang tak pernah memberimu
kepastian. Tataplah, diluar sana masih banyak wajah-wajah berseri yang selalu
siap menyambutmu. Dialah sahabatmu. Bersabarlah,,, karena Tuhan akan memberimu
pasangan yang terbaik menurutNya. Cinta ini terasa indah ku rasakan, karena aku
yakin telah ku labuhkan perahu cintaku pada dermaga yang tepat. Ya,,, hati
Edwinlah dermaga yang tepat untuk kulabuhkan hati dan cinta ini.
The
End